Tata Cara Bersuci[1]
Di beberapa ayat di dalam Al Qur’an,
Allah memuji orang-orang yang mau mensucikan diri. Semisal dalam firman-Nya (yang
artinya), “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan
mencintai pula orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al Baqarah
: 222). Apa sebenarnya definisi bersuci dalam Islam? Bagaimana tata cara
pelaksanaannya?
Definisi dan Hukum Bersuci
dalam Islam
Dalam syariat Islam, yang dimaksud dengan
bersuci adalah menghilangkan perkara yang dapat menghalangi seseorang untuk
melaksanakan shalat, thawaf, atau menyentuh Al Qur’an. Perkara tersebut dapat
berupa hadats ataupun najis. Hukum bersuci dari najis adalah wajib sesuai kemampuan
yang bisa dilakukan oleh seseorang, sedangkan hukum bersuci dari hadats adalah
wajib dalam rangka sahnya shalat seseorang.
Hadats dan Najis: Definisi dan
Perbedaannya
Hadats adalah istilah yang menunjukkan kondisi
badan seseorang yang tidak boleh baginya melaksanakan shalat, thawaf, atau
menyentuh Al Qur’an. Hadats terbagi dua, yaitu hadats kecil dan hadats besar.
Hadats kecil adalah kondisi badan seseorang yang apabila ia ingin melaksanakan
shalat, thawaf, atau menyentuh Al Qur’an, maka ia harus berwudhu terlebih
dahulu. Di antara yang menyebabkan seseorang berada dalam kondisi berhadats
kecil adalah setelah buang air kecil, setelah buang air besar, kentut, dan
lain-lain. Adapun yang dimaksud dengan hadats besar adalah kondisi badan
seseorang yang apabila ia ingin melaksanakan shalat, thawaf, atau menyentuh Al
Qur’an, maka ia harus mandi terlebih dahulu. Diantara yang menyebabkan
seseorang berada dalam kondisi berhadats besar adalah setelah keluarnya air
mani baik karena hubungan badan atau bukan, berhenti dari haidh dan
nifas, dan lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan najis adalah
benda atau pun zat yang dinilai kotor dalam kacamata Islam (bukan dalam
kacamata subjektif seseorang) yang bisa menempel pada badan, pakaian, tempat,
dan sebagainya. Contoh benda yang tergolong dalam najis adalah air kencing dan
kotoran manusia, madzi dan wadi, darah haid, air liur anjing, dan lain-lain.
Ringkasnya, hadats merujuk pada “kondisi tubuh
seseorang” adapun najis merujuk pada “zat ataupun benda” yang bisa saja menempel
pada tubuh, tempat, atau pakaian. Sebagai contoh, seorang yang selesai buang
air kecil maka kondisinya menjadi berhadats kecil, sedangkan air seni yang
dibuang tergolong dalam najis.
Cara Bersuci dari Hadats
Sebagaimana telah disampaikan, hadats kecil bisa
dihilangkan dengan berwudhu dan hadats besar bisa dihilangkan dengan cara
mandi. Dalam kondisi tertentu, wudhu dan mandi bisa digantikan hanya dengan
tayamum. Berikut akan dijelaskan secara global mengenai tata cara
pelaksanaan ketiganya.
Wudhu
Yang dimaksud dengan wudhu dalam syariat Islam
adalah menggunakan air dengan cara tertentu, pada bagian anggota tubuh tertentu
yang telah ditentukan oleh syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Tidak diterima shalat salah seorang di antara
kalian yang berhadats, kecuali ia telah berwudhu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Terdapat sebuah hadits yang terkenal yang
menjelaskan secara rinci bagaimana tata cara wudhu yang dilakukan
oleh Nabi, yaitu hadits yang diriwayakan oleh Humron budak ‘Utsman bin ‘Affan.
Berdasarkan hadits tersebut dan hadits-hadits lainnya, terdapat sepuluh poin tata
cara wudhu yang sempurna yang diajarkan oleh Nabi. Berikut 10 sifat
tersebut yang harus dilakukan secara berurutan:
(1) berniat dalam hati untuk menghilangkan
hadats,
(2) membaca “Bismillāh”,
(3) mencuci kedua telapak tangan sebanyak
tiga kali,
(4) mengambil air dengan tangan kanan
kemudian memasukkannya ke mulut dan hidung untuk digunakan berkumur, dilakukan
sebanyak tiga kali,
(5) mengeluarkan air yang telah dimasukkan
ke dalam mulut dan hidung tersebut dengan menggunakan tangan kiri,
(6) membasuh seluruh bagian wajah sebanyak
tiga kali dan menyela-nyela jenggot bagi yang memiliki jenggot,
(7) membasuh tangan kanan dan tangan kiri
sampai batas sikut dan disertai dengan menyela jari jemari,
(8) mengusap kepala dari arah depan ke
belakang dengan sekali usapan,
(9) mengusap bagian luar dan bagian dalam
kedua daun telinga,
(10) membasuh kedua telapak kaki sampai
batas mata kaki dan menyela-nyela jari jemari kaki.
Mandi junub
Definisi mandi junub secara syariat
adalah mengguyurkan air yang suci ke seluruh bagian tubuh secara
merata. Hukum mandi junub adalah wajib ketika seseorang dalam kondisi
berhadats besar. Terdapat dua cara mandi junub, yaitu cara standar dan
cara yang lebih sempurna. Cara standar yaitu apabila seseorang telah : (1)
berniat mandi dalam rangka menghilangkan hadats dan (2) telah mengguyurkan air
secara merata ke seluruh anggota tubuhnya baik kulit ataupun rambut. Apabila ingin
melakukan mandi yang lebih sempurna, maka bisa melakukan langkah-langkah
berikut:
(1) berniat dalam hati,
(2) membasuh kedua telapak tangan sebelum
mengambil air dari wadahnya,
(3) membasuh kemaluan dengan tangan kiri,
(4) kembali membasuh tangan dan dianjurkan
menggunakan pembersih seperti sabun,
(5) berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat,
(6) menuangkan air ke kepala sebanyak
tiga kali hingga mencapai dasar rambut, dimulai dengan bagian kanan lalu bagian
kiri sambil menyela-nyela rambut dengan jemari,
(7) mengucurkan air ke seluruh bagian tubuh
dimulai dari bagian kanan lalu bagian kiri.
Seorang yang telah mandi wajib, baik
dengan cara standar atau pun dengan cara sempurna, tidak lagi perlu melakukan
wudhu setelahnya untuk melaksanakan shalat.
Tayamum
Yang dimaksud dengan tayamum dalam syariat
Islam adalah menggunakan debu sebagai pengganti wudhu dan mandi. Allah
berfirman tentang tayamum (yang artinya), “kemudian jika kamu
tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci)” (QS.
An Nisaa’ : 43).
Terdapat dua kondisi yang membolehkan seseorang
bertayamum. Pertama, jika tidak mendapatkan air, baik dalam kondisi safar atau
pun tidak. Kedua, apabila memiliki uzur untuk menggunakan air, seperti karena
sakit yang akan menyebabkan sakitnya bertambah parah apabila terkena air.
Berdasar hadits shahih yang
diriwayatakan oleh Imam Ahmad dari ‘Ammar dan dari hadits lainnya, bisa
disimpulkan bahwa tata cara tayamum adalah:
(1) berniat dalam hati,
(2) membaca “Bismillāh”,
(3) memukulkan kedua tangan ke permukaan bumi
(atau tembok) dengan satu kali pukulan,
(4) meniup debu yang menempel pada kedua
telapak tangan,
(5) mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah,
dan
(6)mengusapkan telapak tangan kanan ke telapak
tangan bagian kiri hingga batas pergelangan tangan dan mengusapkan telapak
tangan kiri ke telapak tangan bagian kanan hingga batas pergelangan tangan.
Cara Bersuci dari Najis
Adapun cara mensucikan najis secara umum cukup
dengan membasuhnya hingga zat dari najis tersebut hilang. Apabila dalam sekali
basuhan najis tersebut telah hilang, maka tidak lagi perlu diulangi dibasuh.
Terdapat pengecualian untuk jilatan anjing, dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallammenjelaskan bahwa cara mensucikannya yaitu dengan membasuhnya sebanyak
tujuh kali yang salah satunya dengan menggunakan tanah.
Dari definisi hadats dan najis yang telah
disampaikan di atas, bisa disimpulkan bahwa tidak setiap hadats adalah najis,
dan tidak setiap najis adalah hadats. Contohnya adalah air mani yang apabila
keluar dari kemaluan seseorang maka menyebabkan ia berhadats besar dan wajib
mandi. Namun apabila seseorang shalat dengan pakaian yang masih tertempel air
mani maka shalatnya tetap sah, karena air mani bukanlah najis. Contoh lainnya
adalah apabila seseorang yang telah berwudhu lalu ia buang air besar maka
wudhunya batal dan menyebabkan ia berhadats kecil. Akan tetapi apabila ia
menginjak benda najis, ia wajib mensucikannya sebelum shalat, akan tetapi tidak
wajib untuk berwudhu kembali.
Penutup
Karena alasan keterbatasan, apa yang
disampaikan pada pembahasan ini adalah penjelasan secara global dan
tidak menyinggung banyak perbedaan pendapat ahli fikih di dalamnya. Pembahasan
fikih adalah pembahasan yang memerlukan banyak rincian dan memiliki banyak
perbedaan pendapat. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih lanjut, pembaca
bisa merujuk ke buku-buku fikih yang menyajikan pembahasan yang lebih
komprehensif. Wallahu bi ahkamihi a’lam.
Disarikan dari : Ibahajul Mu’minin bi
Syarh ManhajisSalikin karya Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin, Shohih Fiqh
Sunnahkarya Syaikh Kamal bin Sayid Salim, dan Al Fiqh Al Muyassar.
Penulis : Muhammad Rezki Hr, ST., M.Eng (Alumni
Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah : Ustadz Aris Munandar, M.PI
COMMENTS