Oleh
: Muhammad Rezki Hr
Magister
Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas
Teknik, Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Banyak ahli
yang telah membahas dan menunjukkan adanya ketidakadilan gender di dalam
berbagai aspek kehidupan. Kaum perempuan adalah pihak yang sering dirugikan
dengan adanya ketidakadilan gender. Dalam rangka mengurangi ketidakadilan gender, diambillah
suatu strategi yang disebut dengan pengarusutamaan gender, yang strategi ini telah diterapkan di berbagai aspek kehidupan di dalam proses perumusan dan
pengambilan keputusan. Di
antara aspek yang
menjadi target pengarusutamaan gender adalah penataan ruang. Pengarusutamaan gender dalam penataan
ruang berdampak pada adanya tuntutan penataan ruang yang sensitif gender. Hanya saja kemudian muncul pertanyaan, apa sebenarnya
yang diinginkan pengarusutamaan
gender di dalam penataan ruang sehingga
dikatakan telah sensitif gender? Lalu bagaimana instrumen untuk mencapai keinginan tersebut,
terkhusus di Indonesia? Maka pada artikel ini akan dibawakan hasil studi
literatur mengenai apa yang diinginkan pengarusutamaan gender di dalam penataan ruang dan bagaimana seharusnya gender ditempatkan di dalam penataan ruang. Hal tersebut sangat
mungkin untuk terjawab dengan melihat bentuk-bentuk ketidakadilan gender dalam konteks ruang yang selama ini banyak dikritik oleh
kaum feminis atau pemerhati kaum feminis. Lalu pada bagian akhir akan dibangun sebuah personal view mengenai instrumen
yang bisa digunakan di dalam penataan ruang untuk mencapai apa yang diinginkan
oleh pengarusutamaan gender tersebut.
Gender, Ketidakadilan
Gender, dan Pengarusutamaan Gender
Istilah “gender”
dikemukakan oleh para ahli dengan maksud untuk
menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang mempunyai sifat bawaan (kodrati) dan bentukan budaya (konstruksi sosial). Seringkali sebagian kalangan mencampuradukkan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati yang tidak berubah dengan yang bersifat non-kodrati (gender) yang bisa
berubah dan diubah. Perbedaan peran gender ini juga menjadikan orang berpikir
kembali tentang pembagian peran yang dianggap telah melekat, baik pada
perempuan maupun laki-laki. (BKKBN, 2009)
Ketidakadilan gender atau diskriminasi gender merupakan
akibat dari adanya sistem struktur sosial dimana salah satu
jenis kelamin (laki-laki maupun perempuan) menjadi korban. Hal ini terjadi
karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang sejarah dalam
berbagai bentuk dan cara yang menimpa kedua belah pihak, walaupun dalam
kehidupan sehari-hari lebih banyak dialami oleh perempuan. (BKKBN, 2009).
Ada banyak kasus yang memperlihatkan maraknya kejadian yang
merugikan kaum perempuan karena adanya ketidakadilan gender. Seperti banyaknya
penipuan dan perdagangan perempuan untuk dipekerjakan dengan penghasilan yang rendah,
perlindungan hukum yang kurang memadai terhadap tindak kekerasan, perkosaan,
dan penyiksaan fisik dan nonfisik bagi perempuan, diskriminasi dalam kesempatan
pendidikan, pelatihan, dan kesempatan kerja, peraturan pendidikan yang masih
bias gender, dan lain-lain. Jika dirangkum, menurut BKKBN (2009), setidaknya ada lima jenis
ketidakadilan gender yang sering terjadi.
Yang pertama adalah Stereotip/Citra Baku, yaitu pelabelan
terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada
umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Misalnya,
karena perempuan dianggap ramah, lembut, rapi, maka lebih pantas bekerja sebagai
sekretaris atau sebagai guru Taman Kanak-kanak.
Yang kedua adalah Subordinasi/Penomorduaan, yaitu adanya
anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau
dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Contohnya adanya
anggapan bahwa perempuan mengurus pekerjaan domestik (rumah tangga) sehingga
perempuan dianggap sebagai “orang rumah” atau “teman yang ada di
belakang”.
Yang Ketiga Marginalisasi/Peminggiran, adalah kondisi atau proses
peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus/pekerjaan utama yang
mengakibatkan terjadinya kemiskinan. Misalnya perkembangan
teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan
diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh laki-laki.
Yang Keempat Beban Ganda/Double Burden, yaitu adanya perlakuan
terhadap salah satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak
dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.
Dan yang kelima Kekerasan/Violence, yaitu suatu
serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang, sehingga kekerasan
tersebut tidak hanya menyangkut fisik semisal perkosaan dan pemukulan, tetapi
juga nonfisik semisal pelecehan seksual, ancaman, dan paksaan yang bisa terjadi
di lingkungan rumah tangga, tempat kerja, atau pun tempat-tempat umum.
Isu-isu ketidakadilan
gender di atas sering diangkat oleh mereka yang disebut
sebagai kaum feminis. Aksi yang
dilakukan kaum feminis tersebut bertitik tolak dari kesadaran mereka bahwa
perempuanlah yang sering menjadi korban atas terjadinya ketidakadilan gender.
Dalam rangka menghilangkan budaya ketidakadilan gender di berbagai aspek
kehidupan maka diambillah suatu langkah atau strategi yang dikenal dengan
istilah pengarusutamaan gender (Gender
Mainstreaming).
Pengarusutamaan gender telah menjadi strategi yang telah
diterapkan dan diwajibkan diberbagai bidang pembangunan, mulai dari level
internasional sampai lokal. Pada level internasional berbagai konvensi telah
dilakukan guna merumuskan agar pengarusutamaan gender benar-benar bisa
mewujudkan kesetaraaan gender. Diantara hasilnya yang belakangan adalah
dijadikannya kesetaraan gender sebagai salah satu tujuan di dalam Millenium
Development Goals (MDGs). Pada level nasional, pemerintah telah meratifikasi
konvensi hukum internasional tentang diskriminasi yang di kenal dengan konvensi
CEDAW (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts
Women) dengan Undang-undang No.7 Tahun 1984 tentang penghapusan
diskriminasi terhadap perempuan. Pengarusutamaan gender juga telah menjadi
agenda nasional dengan diterbitkannya Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional dan
Kepmendagri No. 132 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender. Adapun pada level lokal, mulai ada beberapa
daerah yang menjadikan pengarusutamaan gender sebagai salah satu strategi
pembangunan. Seperti Kota Surabaya yang telah menerbitkan Instruksi Walikota
Surabaya No. 6 Tahun 2008 tentang Percepatan Pengarusutamaan Gender.
Sejak munculnya pertama kali, keberadaan pengarusutamaan gender memang
telah berhasil memberikan paradigma baru di dalam pembangunan di berbagai aspek
kehidupan, yaitu paradigma pembangunan yang sensitif gender.
Ketidakadilan Gender
dalam Ruang
Menurut kaum feminis, atau setidaknya pemerhati kaum feminis,
ketidakadilan gender juga marak terjadi di dalam konteks ruang kota. Telah
banyak ahli yang membahas bagaimana ketidakadilan gender terjadi di dalam
konteks ruang dan apa penyebabnya. Milroy (1991) menjelaskan bahwa perempuan
dan laki-laki memiliki hubungan yang asimetris satu sama lain dan masing-masing
juga memiliki hubungan dengan struktur modal, tenaga kerja, dan negara. Mereka
melakukan kegiatan yang tentunya berbeda dan lebih cenderung untuk
mengekspresikan nilai-nilai moral dan budaya yang berbeda. Hal ini lah yang
menimbulkan spesifikasi gender. Jika salah satu (perempuan atau laki-laki)
berhubungan dengan yang lain atau dengan sebuah objek maka hubungan tersebut
telah dilandasi oleh gender, yaitu dengan memberi batasan bagi seseorang dari
apa yang harus ia lakukan karena statusnya sebagai wanita atau pria. Hal ini
lah yang juga berkontribusi terhadap terjadinya (perbedaan) pengembangan ruang.
Campbell dan Fainstein (1996) dalam Hidayati (2008) mengatakan
secara umum ketidakadilan gender dalam konteks ruang dalam pandangan kaum
feminis setidaknya terjadi dalam empat hal. Yang pertama hal tersebut terjadi
dengan adanya perbedaan penggunaan ruang publik oleh laki-laki dan perempuan.
Peminggiran atau pelemahan kepentingan perempuan oleh laki-laki dianggap sering
terjadi di ruang publik. Yang kedua, adanya ancaman terhadap keamanan dari tiap
individu dalam melakukan aktivitasnya di ruang kota. Hal ini terjadi karena
penataan ruang kota dianggap kurang akomodatif dan peka terhadap persepsi kaum
perempuan. Yang ketiga adalah adanya diskriminasi struktural terhadap perempuan
dalam perkembangan ekonomi. Dan yang keempat adanya pola transportasi tertentu
yang dilakukan perempuan di dalam kota yang sering diabaikan dalam penataan
(ruang) kota.
Berikut akan dibahas beberapa hal yang menunujukkan adanya
ketidakadilan gender dalam konteks ruang kota.
Gender dan Zonasi
Konsep zonasi hingga kini masih menjadi salah satu instrumen yang
dipercayai di dalam pengaturan ruang kota. Dengan adanya zonasi, peruntukan
fungsi kawasan bisa diatur agar terjadi keseimbangan pemanfaatan ruang. Namun
di berbagai tempat kaum feminis mengkritik metode zoning yang selama ini
digunakan. Kaum feminis menganggap zoning yang selama ini dilakukan
kurang peka terhadap persepsi dan perilaku perempuan. Zoning dianggap
hanya mempertimbangkan faktor efisiensi, ekonomi, dan lingkungan semata
sehingga hal tersebut tak jarang merugikan kaum perempuan (Hidayati, 2008).
Anggapan kaum feminis tersebut diantaranya berawal dari ketidaknyamanan mereka
atas adanya pemisahan kawasan permukiman dengan kawasan komersil atau pun
industri. Kawasan permukiman biasanya dijauhkan dari kawasan komersil dan
industri demi kesehatan dan kenyamanan lingkungan kawasan permukiman. Akan
tetapi hal ini ternyata justru mendapat respon negatif dari kaum feminis karena
menyebabkan pembatasan akses perempuan ke lapangan pekerjaan dikarenakan menyulitkan
perempuan untuk memadukan pekerjaan dalam rumah (rumah tangga) dan pekerjaan luar
rumah.
Contoh ketidakadilan gender lainnya terkait zonasi adalah
penempatan kawasan permukiman di pinggiran kota. Dengan terus terjadinya pertambahan
penduduk maka kota semakin padat dan menyebabkan kota harus tumbuh ke periferi
termasuk permukiman. Sementara, pada kawasan periferi transportasi umum sangat minim,
sedangkan akses perempuan ke kendaraan pribadi juga tidak semudah kaum
laki-laki (Greed, 1994 dalam Hidayati, 2008). Hal ini juga berakibat pada
terbatasnya akses perempuan ke pekerjaan yang berujung pada diskriminasi
struktural aktivitas ekonomi.
Cuthbert (2006) juga menjelaskan bahwa pola persebaran
fasilitas-fasilitas yang terkait dengan aktifitas perempuan selama ini kurang
dipertimbangkan dengan baik di dalam penataan ruang kota. Seperti tempat
penitipan anak, sekolah, dan lain-lain karena biasanya perempuan mengantarkan
anaknya ke tempat-tempat tersebut. Persepsi dan preferensi perempuan dalam hal
ini perlu dipertimbangkan secara matang.
Gender dan Kawasan Suburban
Pembahasan ini sebenarnya hampir sama dengan pembahasan zonasi.
Namun pembahasan ini biasa dipisahkan karena kompleksnya permasalahan yang
dialami kaum perempuan di kawasan suburban. Sebagaimana dijelaskan oleh
Cuthbert (2006) bahwasanya dengan munculnya gelombang femisme pada 1960-an
telah memperjelas bahwa kehidupan pada kawasan suburban secara spasial
menyebabkan ketidakberuntungan bagi perempuan. Kepadatan
yang rendah pada kawasan suburban menyebakan banyak perempuan terpisah
dari setiap jaringan/sistem sosial yang ada dan juga terputusnya
akses ke fasilitas yang ada di pusat kota,
khususnya transportasi. Sehingga pada hakikatnya pemindahan kawasan
permukiman ke kawasan suburban menyebabkan perempuan terisolasi
dan secara bersamaan kehilangan kesempatan ekonomi. Sementara
jika para perempuan ingin bekerja atau mengakses fasilitas di pusat kota, maka
mereka harus menjadi komuter. Menjadi komuter perempuan tidak semudah menjadi
komuter laki-laki, karena hal tersebut sangat membuang waktu perempuan yang
sebenarnya sudah habis banyak ketika mengurusi urusan domestik (rumah tangga).
Kenaikan kepemilikan kendaraan bermotor
pribadi juga merupakan kontributor yang signifikan dalam
mengisolasi akses perempuan. Hal ini mempercepat terjadinya pemindahan kawasan
permukiman ke kawasan suburban, karena jarak yang jauh antara kawasan
permukiman dan pusat kota dianggap bukan lagi masalah, sementara akses
perempuan ke kendaraan pribadi masih kalah oleh laki-laki. Kepemilikan
kendaraan yang hanya tunggal dalam keluarga biasanya lebih memenangkan
laki-laki dalam penggunaannya. (Cuthbert, 2006)
Hall (1998) mengatakan bahwa para geografer-feminis telah
mengkritik keras adanya Stereotip/pencitraan baku pada tata guna
lahan kawasan suburuban. Kawasan suburban dicitrakan sebagai kawasan rumah
tangga, konsumsi, dan rekreasi. Perempuan dianggap bertanggung jawab untuk
memelihara kawasan suburban, yang pada hakikatnya setiap hari kaum
perempuan terjebak di kawasan ini.
Gender dan Public Space
Sebagian kaum feminis melihat kebanyakan fasilitas-fasilitas
umum yang ada masih didominasi oleh laki-laki, semisal tempat olahraga.
Demikian pula ruang terbuka, taman, kebun dan sebagainya.
Ditambah lagi tempat-tempat yang seharusnya bisa menjadi tempat latihan fisik
dan rekreasi bagi perempuan, juga sangat potensial untuk terjadinya
pelanggaran seksual dan pelanggaran fisik bagi perempuan dalam
berbagai bentuk. (Cuthbert, 2006)
McDowell (1993) dalam Cuthbert (2006) menyatakan
bahwa penelitian telah menunjukkan bagaimana wanita
merasa bahwa kebebasan mereka untuk menggunakan ruang-ruang
perkotaan bervariasi sepanjang hari, serta
bagaimana diferensial kontrol laki-laki atas ruang
privat dan publik mempengaruhi perilaku perempuan.
Adanya perbedaan penggunaan ruang publik oleh laki-laki dan
perempuan yang menyebabkan perempuan termarginalisasi dalam pemanfaatan ruang
juga ditegaskan oleh M. Domosh dan J. Seager (2001) dalam Hidayati (2008):
“the public arena has been described as masculine since the
1500th century. During this time, women’s access to the public were strictly
limited and they where mostly banished to the home. Although women slowly
gained legal access to the public arena the masculinesation of the public
sphere and women’s connection to the home still continues to be a major issue
for feminist research” (M. Domosh dan J. Seager, 2001 dalam Hidayati, 2008:21)
Gender dan Hak Atas Lahan
Di sebagian negara Asia, perempuan miskin
menghadapi hambatan besar dalam mendapatkan lahan untuk perumahan karena budaya
sosial atau sistem kepemilikan patriarki menghambat mereka dalam memegang hak
atas lahan. Hak perempuan atas properti sering tidak dihiraukan dalam
pembelian, penjualan, warisan, penyewaan atau pembagian lahan, sehingga mereka
tergantung pada ayah, suami atau anak laki-laki untuk jaminan kepemilikan.
Ketika hak atas lahan berada atas nama suami atau anak laki-laki, hal ini dapat
membuat perempuan lemah dalam berbagai masalah, termasuk ditinggalkan pasangan
atau ketika pasangan terlibat hutang, pengambilan rumah pada saat terjadi
pertengkaran rumah tangga, atau kehilangan lahan dan rumah setelah cerai.
(UN-Habitat, 2008)
Seringkali perempuan tidak memiliki suara
dalam kebijakan lahan yang dibuat secara top down, tanpa ada kesempatan
bagi mereka untuk menyuarakan keprihatinan dan pilihannya. Partisipasi yang
dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat lokal dalam merancang dan
menjalankan program merupakan awal yang baik, namun bukan berarti secara
merefleksikan kebutuhan dari perempuan dan laki-laki. Organisasi lokal sering
diwakili oleh laki-laki, dan perempuan seringkali hanya sedikit memberikan
input terhadap keputusan-keputusan. Perlu lebih banyak upaya agar kebutuhan
perempuan tercerminkan di semua intervensi lahan. (UN-Habitat, 2008)
Patriarki dan Ruang
Bagi sebagian kaum feminis (feminis radikal), ketidakadilan gender
yang selama ini terjadi cendrung terjadi karena adaya budaya patriarki dalam
berbagai bidang kehidupan (Jones, 2010), sehingga diantara tujuan pengarusutamaan
gender adalah menghapus budaya patriarki dalam berbagai aspek kehidupan. Begitu
juga dalam hal penataan ruang. Sebagian kaum feminis menganggap penataan ruang
perkotaan selama ini telah didominasi oleh budaya patriarki sehingga penataan
ruang kota selama ini kurang memikirkan keadilan gender. Sebagai mana
dijelaskan oleh Cuthbert (2006) bahwasanya hampir seluruh struktur (ruang) kota
telah dirumuskan berdasarkan pemikiran patriarki-kapitalis. Penentuan pola
ruang, zoning, penentuan bentuk, lokasi, dan tipe kawasan permukiman,
dan jaringan transportasi yang selama ini ada lahir dari nilai-nilai dan
harapan dari dominasi kaum laki-laki.
Patriarki menyebabkan adanya dominasi laki-laki dalam semua
masyarakat pada setiap periode sejarah dan merupakan sebuah fenomena yang hampir
terjadi di seluruh dunia. Meskipun pada masyarakat industri dan pasca industri
telah ditawarkan kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk bekerja,
namun laki-laki tetap masih mendominasi semua bidang penting yang berpengaruh
seperti pemerintahan, militer, bisnis, pendidikan dan lainnya. Alasan yang
paling sering digunakan untuk menjelaskan fenomena patriarki adalah karena
adanya konstitusi biologis perempuan. Mereka harus melahirkan anak dan memiliki
ketergantungan pada orang-orang untuk menyediakan bahan dasar untuk keluarga.
(Cuthbert, 2006)
Contoh ekstrim penataan ruang yang berlandaskan patriarki murni
adalah apa yang terjadi di sebagian suku di Israel, suku nomaden tanpa
pemukiman tetap. Ruang bagi wanita pada sebagian suku tersebut dibagi menjadi
ruang yang 'terlarang' dan ruang yang 'diizinkan'. Hal ini sangat membatasi
mobilitas perempuan sesuai dengan prinsip-prinsip patriarki. Bahkan batas-batas
ruang yang ‘diizinkan’ bagi perempuan ditentukan berdasarkan jenis pakaian yang
dikenakan. Beberapa nilai budaya seperti nilai kehormatan, kesopanan, malu,
aib, kedewasaan, dan lain-lain sangat berpengaruh dalam perwujudan ruang.
Nilai-nilai budaya ini ini menentukan batas-batas spasial dari individu.
(Fenster, 1999 dalam Cuthbert, 2006)
Tuntutan Gender dalam Penataan Ruang
Perencanaan dan penataan ruang seringkali dilakukan tanpa
pemahaman yang benar tentang persepsi
dan perilaku manusia pengguna ruang tersebut. Kenyataan yang terjadi adalah
penataan ruang sering tidak optimal mengakomodasikan kebutuhan dan keinginan
penggunanya, serta tidak memfasilitasi proses adaptasi yang dinamik antara
perilaku dengan setingnya (Setiawan, 2006). Maka di antara persepsi dan
perilaku yang selayaknya dipertimbangkan dalam perencanaan dan penataan ruang
adalah persepsi dan perilaku perempuan. Dengan demikian sewajarnya perencanaan
dan penataan ruang kota tidaklah dikontrol oleh pasar (atau sebagian pihak,
semisal laki-laki saja), sebagaimana banyak terjadi di kota-kota di Indonesia,
sehingga wujud kota-kota di Indonesia cendrung tidak terencana dan menimbulkan
berbagai eksternalitas negatif (Setiawan, 2006). Diantara eksternalitas negatif
tersebut adalah ketidaknyamanan perempuan di dalam ruang kota.
Sebelum adanya pengarusutamaan gender, paradigma penataan ruang
memang masih didominasi oleh budaya patriarki. Pada awalnya para ahli sangat
sedikit yang menyentuh isu bagaimana ketidakadilan gender dalam ruang kota,
sebagaimana dikatakan oleh Cuthbert (2006) :
“Until relatively recently, the relation between gender and urban
space has been isolated to the periphery of investigation into the social
relations of capitalism, and urban life in general.“ (Cuthbert, 2006: 127)
Namun dengan dengan adanya pengarusutamaan gender, paradigma penataan
ruang mulai berubah dengan mau mempertimbangkan tuntutan gender dalam penataan
ruang. Sebagaimana dikatakan Milroy (1991), telah banyak teori yang telah
disampaikan oleh para perencana dalam menata ruang kota. Akan tetapi
teori-teori peng-strukturan ruang tersebut dalam beberapa dekade terakhir telah
dikritik dan direvisi karena dinilai tidak mampu mengakomodasi gender dalam
struktur ruang yang direncanakan.
Berdasarkan bentuk-bentuk dan contoh-contoh ketidakadilan gender
dalam konteks ruang yang telah dibahas di atas, maka dapat dilihat bahwa pada
dasarnya ada tiga bentuk ketidaknyamanan yang dialami perempuan karena adanya
ketidakadilan gender (sebagaimana juga dikatakan Hidayati, 2008), yaitu ancaman,
diskriminasi, dan marginalisasi. Jelas, bahwa yang diinginkan kaum feminis
dari penataan ruang adalah terwujudnya ruang yang adil dan setara-gender. Sebagian
kaum feminis juga menenuntut penghapusan budaya patriarki, sebagaimana tuntutan
mereka di berbagai bidang kehidupan lainnya. Hal tersebut minimal bisa
diwujudkan dengan menghapus ketiga bentuk ketidakadilan gender dalam ruang
tersebut. Ringkasnya, tuntutan gender dalam penataan ruang adalah terwujudnya
ruang yang bebas dari terjadinya ancaman, diskriminasi, dan
marginalisasi, atau dengan kata lain adil dan setara gender. Setara
dalam hal mengakses ruang, partisipasi perencanaan, dan kontrol terhadap ruang.
Sedangkan adil dalam hal pemanfaatan ruang (Butaru, 2011).
Perbedaan persepsi, perilaku, dan kebutuhan perempuan dalam ruang
juga perlu diidentifikasi lebih lanjut untuk kemudian diakomodasikan dalam
proses perumusan rencana penataan ruang. Adanya perbedaan kebutuhan laki-laki
dan perempuan disadari tentunya juga berimplikasi pada perbedaan kebutuhan
ruang dan seharusnya perencaan (ruang) kota dapat mengakomodasi adanya
perbedaan tersebut. (Hidayati, 2008)
Lebih lanjut, perencanaan sebagaimana telah dijelaskan dikenal
dengan istilah gender-sensitive spatial planning. Gender-sensitive spatial
planning mendefinisikan bahwa perencanaan kota tidaklah netral dari gender.
(Hidayati, 2008). Ada 3 pertanyaan mendasar
yang ditekankan di dalam gender-sensitive spatial planning, sebagaimana
dikutip oleh Hidayati (2008) dari http://www.genderalp.com, yaitu :
1. Siapa yang seharusnya menjadi sasaran
perhatian dari perencanaan kota
2.
Apa
perbedaan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan
3. Apa target dari perencanaan kota dan
apa saja yang dapat mengindikasikan telah terjadinya kesamaan pemenuhan hak
antara laki-laki dan perempuan.
Pengarusutamaan Gender dalam Instrumen Penataan Ruang
Pengarusutamaan gender dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 didefinisikan sebagai suatu strategi untuk mencapai keadilan dan
kesetaraan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan kepentingan
laki-laki dan perempuan secara seimbang mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. Adapun dalam konteks penataan ruang kota
maka pengarusutamaan gender bisa diemplementasikan mulai dari tahap perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 juga disebutkan pula bahwa tujuan pengarusutamaan
gender ada tiga yaitu membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program yang responsif
gender, memberikan perhatian khusus kepada
kelompok-kelompok yang mengalami marjinalisasi,
sebagai akibat dari bias gender, dan meningkatkan
pemahaman dan kesadaran semua pihak, baik pemerintah maupun nonpemerintah, untuk melakukan tindakan yang
sensitif gender di bidang masing-masing.
Alur Pikir Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender
Alur pikir pelaksanaan
pengarusutamaan gender merupakan strategi untuk mempercepat
tercapainya tujuan gender di dalam penataan ruang tergambar dalam bagan seperti berikut ini.
Gambar 1 : Alur Pikir Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender
Sumber
: Modifikasi dari BKKBN (2009)
Sasaran utama pengarusutamaan gender dalam konteks penataan ruang
adalah lembaga pemerintah yang bertugas sebagai pelaksana penataan ruang dari
pusat hingga daerah yang berperan dalam membuat kebijakan program dan kegiatan
serta perencanaan program penataan ruang. Sasaran lain adalah organisasi profesi,
organisasi swasta, organisasi keagamaan, tokoh, dan keluarga yang terlibat secara langsung atau pun tidak langsung dalam
proses penataan ruang. Subjek-subjek tersebut perlu disadarkan lebih lanjut
agar bisa sensitif gender melalui berbagai cara sosialisasi. Setelah itu, para
pelaku tersebut dituntut agar mau memiliki komitmen dan mau mengeluarkan
kebijakan tentang gender. Faktor kelembagaan, sumberdaya, serta civil
society juga harus diinisiasi agar mau sensitif gender. Dari sini
kemudian diharapankan akan tercipta output berupa terwujudnya gender-sensitive
spatial planning yang mampu menghasilkan produk RTRW dan berbagai program
tata ruang yang sensitif gender.
Pelibatan Perempuan
Sebagaimana dijelaskan di atas, perbedaan persepsi, perilaku, dan
kebutuhan perempuan dalam ruang juga perlu didentifikasi lebih lanjut untuk
kemudian diakomodasikan dalam proses perumusan rencana penataan ruang, karena adanya
perbedaan kebutuhan laki-laki dan perempuan akan berimplikasi pada perbedaan
kebutuhan ruang. Maka untuk mewujudkan hal tersebut perempuan perlu dilibatkan
dalam proses perumusan rencana penataan ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini menjadi penting karena yang sangat peka
dengan isu ketidakadilan gender dalam konteks penataan ruang adalah kaum
perempuan, sebagaimana dikatakan Cuthbert (2006) :
On the other hand, gender distinctions are not so readily
apparent, at least to men, simply because patriarchy is part of our
psychological make-up and is not constrained to a single social class. A man
looking at the same cadastral map would probably be conscious of the class
nature of physical space (‘his’ house being larger or smaller than someone else’s).
But a woman would also read the gender implications. ( Cuthbert, 2006: 138)
Pelibatan perempuan juga penting dalam rangka memastikan apakah
perempuan dan laki-laki diperlakukan adil dan setara dalam memperoleh Akses,
Kontrol, Partisipasi dan memperoleh Manfaat
(AKPM) yang sama atas ruang.
Gender Budgeting
Pelaksanaan program penataan ruang yang berbasis gender tentu
sulit terlaksana tanpa ada alokasi pendanaan khusus. Alokasi khusus ini biasa
disebut dengan gender budgeting. Implementasi gender budget pada level daerah mengacu pada Inpres No. 9 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 132 Tahun 2003
tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan
Gender dalam
pembangunan daerah. Dengan demikian, perencanaan dan pelaksanaan pengarusutamaan gender dalam penataan ruang, harus dilakukan oleh
seluruh instansi dan lembaga pemerintahan di provinsi, kabupaten/kota yang
pengaturannya ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda) di semua tingkatan,
sehingga proses perencanaan yang responsif gender
tercermin dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Melalui anggaran berbasis gender (gender budgeting),
yang merupakan sebuah pendekatan bahwa uang masyarakat digunakan berdasarkan
kesetaraan gender, berarti pula apakah dana/pengeluaran itu telah mencukupi
kebutuhan laki-laki dan perempuan. (BKKBN, 2009)
Permen Keuangan No. 119/PMK.02/2009 juga telah
mengamanatkan implementasi Anggaran Responsif Gender. Penganggaran yang
responsif gender dijelaskan bukanlah sebagai tujuan, melainkan sebuah kerangka
kerja atau alat analisis kebijakan
anggaran untuk mewujudkan kesetaraan gender melalui proses-proses
penentuan alokasi yang proporsional atau berkeadilan. Penerapan Anggaran
Responsif Gender dalam struktur penganggaran pada penyusunan Rencana Kerja Anggaran
ditempatkan pada tingkat program dan kegiatan. Hal ini berarti pada saat
penyusunan program sudah ditentukan sasaran dan kegiatan yang mempertimbangkan
perspektif gender dan menerapkan analisis gender. Dalam penganggaran ini, turut
dilampirkan Gender Budget Statement (GBS) yang isinya merefleksikan
kegiatan yang akan dilakukan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait dalam menangani
persoalan gender dalam konteks suatu program. (Butaru, 2011)
Legalisasi
Agar alur pikir, pelibatan perempuan, dan
pemihakan pendanaan sebagaimana telah disampaikan benar-benar terwujud, tentu
tidak cukup jika hanya berada pada ranah konsep, tetapi juga harus dibawa ke
ranah legal. Jika melihat Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
maka belum sedikitpun menyinggung isu keadilan gender. Dan begitu pula pada
berbagai pedoman dan petunjuk penyelanggaraan penataan ruang baik pada pusat
nasional atau pun pada level daerah juga belum sensitif gender. Maka perlu ada
legalisasi langkah-langkah yang akan diambil untuk mewujudkan gender-sensitive
spatial planning.
Penutup
Itulah sedikit personal view mengenai apa yang bisa
dilakukan pada instrumen penataan ruang yang telah ada agar gender-sensitive
spatial planning bisa terwujud di Indonesia. Ringkasnya, ada tiga aspek
yang penting sebagai awal untuk menginisiasi gender-sensitive spatial
planning, yaitu aspek kelembagaan, pendanaan, dan legal. Dari aspek
kelembagaan seluruh stakeholders yang terlibat dalam proses perencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang haruslah memiliki kesensitifan
akan isu gender sehingga berbagai kebijakan dan program terkait penataan ruang
yang dihasilkan adil-gender. Berbagai kebijakan dan program tersebut tentu tak
akan sempurna tanpa ada dukungan pendanaan khusus yang pro-gender. Dan tentu
seluruh langkah dan strategi tersebut harus mendapatkan legalisasi agar lebih
jelas dan terjamin pelaksanaannya.
Saran
Sangat diperlukan penelitian dan kajian lebih lanjut mengenai tuntutan
gender dalam konteks penataan ruang karena pengarusutamaan gender menurut
sebagian ahli sebenarnya mengandung paradoks. Di satu sisi pengarusutamaan
gender menuntut persamaan posisi atau perlakuan. Namun di sisi lain menuntut
hak-hak tertentu karena adanya kebutuhan yang berbeda, seperti ruang atau jalur
khusus, atau hal-hal lainnya yang terkait dengan kebutuhannya sebagai wanita
dan ibu rumah tangga. Maka perlu diteliti lebih lanjut mengenai hal-hal apa
saja yang perlu disetarakan dan perlu dibedakan dalam penataan ruang. Selain
itu pula, perlu pula diidentifikasi perbedaan kebutuhan ruang antar perempuan
itu sendiri. Sebagaimana Jones (2010) mempertanyakan apakah feminisme tepat
untuk diklaim mengatasnamakan semua manusia yang disebut perempuan. Butler
& Scott (1992) dalam Jones (2010) menjelaskan bahwa pastilah tidak semua
perempuan adalah ibu. Sebagian bahkan tidak bisa jadi ibu, karena terlalu muda
atau terlalu tua, atau sebagian lain memilih untuk tidak menjadi ibu. Maka
perlu ditinjau kembali penggunaan kategori perempuan dalam analisis feminisme,
meskipun telah disepakati bahwa kebijakan yang buta-gender memang bisa
mengakibatkan kesulitan bagi kaum perempuan.
Referensi
Milroy, Beth M. 1991. ‘Taking Stock of
Planning, Space, and Gender’. Journal of Planning Literature. Diunduh
dari http://jpl.sagepub.com/content/6/1/3 pada 18 Oktober 2011.
Cuthbert, Alexander R. 2006. The Form of
Cities : Political Economy and Urban Design. E-book Black Well
Publishing. Diunduh dari: - , Pada: -
Hall, Tim. 1998. Urban Geography. London.
Routledge.
Hidayati, Isti. 2008. “Konsep Feminisme dalam
Kawasan Wisata Belanja, Studi Kasus: Kawasan Malioboro.” Skripsi tidak
diterbitkan, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Jones, Pip. 2010. Pengantar Teori-teori
Sosial. Jakarta. Pustaka Obor.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN). 2009. Konsep dan Teori Gender. Diunduh dari: - pada 21 Desember
2011.
Setiawan, Bakti. 2006. “Ruang Bermain untuk
Anak di Kampung Kota: Studi Persepsi Lingkungan, Seting, dan Perilaku Anak di
Kampung Code Utara, Yogyakarta”. Jurnal Manusia dan Lingkungan Edisi Juli 2006.
Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Gadjah Mada.
UN-Habitat. 2008. Perumahan bagi Kaum Miskin
di Kota-kota di Asia. Diunduh dari www.housing-the-urban-poor.net pada tanggal
27 Desember 2011.
Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional
Keputusan
Menteri Dalam Negeri nomor 132 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG
Buletin Tata Ruang (Butaru) Edisi I Tahun
2011. Diunduh dari www.tataruang.org pada 24 Desember 2011.
[1]
Disusun oleh Muhammad Rezki Hr sebagai syarat menyelesaikan mata kuliah Teori
Keruangan Advance-Magister Perencanaan Wilayah dan Kota (take home exam). Desember
2011.
NB : Menulis demikian belum tentu setuju :)
COMMENTS