19 Mei 2013

Nenek Kami


Nenek Kami[1]

Sore ini entah kenapa lamunanku diisi oleh sebuah sosok yang –terus terang– sudah lama hilang dalam bayangan. Otakku kemudian tak henti berputar untuk berupaya menghadirkan memori  tentangnya. Agak sulit memang, karena aku hanya mengenalnya sekena waktu saja. Ditambah kala itu aku masih kecil.

Nenek…

Diantara kenangan yang berhasil ku sigi dari ingatanku adalah ketika suatu sore nenek berkunjung ke rumah kami. Selesai berbincang-bincang dengan ayah, nenek menarik diri untuk pulang. Hanya berjalan kaki, tempat tinggal kami cuma bersekat beberapa rumah. Dalam perjalanannya aku sergah nenek sambil merengek untuk meminta ikut belajar mengaji. Nenek kami ini memang terkenal sebagai guru mengaji di lingkungan sekitar tempat kami tinggal. Ntah apa yang memotivasiku waktu itu. Mungkin hanya karena tidak mau ketinggalan dengan beberapa teman kecil yang telah duluan nenek ajari.

Ayu ha.. kaina datang ha mbah magrib (Ya, nanti datang saja setelah magrib)” jawab nenek dengan ekspresi teduh yang masih aku ingat betul.

Benar saja, aku langsung datang magrib itu. Dengan murid lainnya yang aku tak ingat pasti itu siapa, aku antri menunggu giliran diajari.

Tak tahu persis berapa kali magrib aku datangi rumah nenek untuk belajar mengaji. Namun yang pasti, apa yang diajarkan dan permisalan yang disampaikan sangat membekas. Nenek mengajarkan bahwa huruf sya itu dibaca sebagaimana seperti mengusir kucing. Dan kalau ada bilah/tongkat di dekat huruf, maka dibaca panjang. Kalau ada bendera di atas huruf, itu lebih panjang. Dan lainnya.

Untuk huruf-huruf hijaiy nenek menunjukki dengan bilah dari bambu yang dilancipkan ujungnya. Kalau tidak salah, pernah sekali aku ingin membilahi huruf-huruf itu dengan bilah dari sapu lidi. Nenek sontak marah, tidak sopan katanya.

Nenek…

Memang tak banyak memori yang bisa kuhadirkan tentangnya. Meski sedikit, begitu membekas.

Memori berikutnya yang bisa ku sigi hanyalah ketika nenek sudah terbujur kaku. Matanya sudah terkatup. Dari jauh, aku lihat air wajah nenek cukup tenang. Kata orang, memang, nenek kami mati tenang.

Nenek…

Kalau saja nenek masih hidup, tentu aku ingin berikan bakti. Nenek yang berjasa pada orang tua kami. Tapi kini nenek yang katanya pemberani itu, tak ada lagi. Maka aku bermohon agar Allah senantiasa mudah kan aku untuk memperbanyak bacaan dan hafalan Quran-ku, dan agar Allah berkenan pula menerimanya, lalu mengalirkan pahalanya kepada nenek, yang telah mengajariku.




[1] Wisma Darus Solihin, Pogung Dalangan, 22: 55 WIB, 19 Mei 2013.
Image Source: http://static.dezeen.com/uploads/2009/07/past-memories-by-valentin-loellmann-01.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar