Nenek Kami[1]
Sore ini entah kenapa lamunanku diisi oleh
sebuah sosok yang –terus terang– sudah lama hilang dalam bayangan. Otakku
kemudian tak henti berputar untuk berupaya menghadirkan memori tentangnya. Agak sulit memang, karena aku
hanya mengenalnya sekena waktu saja. Ditambah kala itu aku masih kecil.
Nenek…
Diantara kenangan yang berhasil ku sigi dari
ingatanku adalah ketika suatu sore nenek berkunjung ke rumah kami. Selesai
berbincang-bincang dengan ayah, nenek menarik diri untuk pulang. Hanya berjalan
kaki, tempat tinggal kami cuma bersekat beberapa rumah. Dalam perjalanannya aku
sergah nenek sambil merengek untuk meminta ikut belajar mengaji. Nenek kami ini
memang terkenal sebagai guru mengaji di lingkungan sekitar tempat kami tinggal.
Ntah apa yang memotivasiku waktu itu. Mungkin hanya karena tidak mau
ketinggalan dengan beberapa teman kecil yang telah duluan nenek ajari.
“Ayu ha.. kaina datang ha mbah magrib (Ya,
nanti datang saja setelah magrib)” jawab nenek dengan ekspresi teduh yang masih
aku ingat betul.
Benar saja, aku langsung datang magrib itu. Dengan
murid lainnya yang aku tak ingat pasti itu siapa, aku antri menunggu giliran
diajari.
Tak tahu persis berapa kali magrib aku datangi
rumah nenek untuk belajar mengaji. Namun yang pasti, apa yang diajarkan dan
permisalan yang disampaikan sangat membekas. Nenek mengajarkan bahwa huruf sya itu dibaca sebagaimana seperti
mengusir kucing. Dan kalau
ada bilah/tongkat di dekat
huruf, maka dibaca panjang. Kalau
ada bendera di atas huruf, itu
lebih panjang. Dan lainnya.
Untuk huruf-huruf hijaiy nenek menunjukki
dengan bilah dari bambu
yang dilancipkan ujungnya. Kalau tidak salah, pernah sekali aku ingin membilahi
huruf-huruf itu dengan bilah dari sapu lidi. Nenek sontak marah, tidak sopan
katanya.
Nenek…
Memang tak banyak memori yang bisa kuhadirkan
tentangnya. Meski sedikit, begitu membekas.
Memori berikutnya yang bisa ku sigi hanyalah
ketika nenek sudah terbujur kaku. Matanya sudah terkatup. Dari jauh, aku lihat air
wajah nenek cukup tenang. Kata orang, memang, nenek kami mati tenang.
Nenek…
Kalau saja nenek masih hidup, tentu aku ingin
berikan bakti. Nenek yang berjasa pada orang tua kami. Tapi kini nenek yang
katanya pemberani itu, tak ada lagi. Maka aku bermohon agar Allah senantiasa
mudah kan aku untuk memperbanyak bacaan dan hafalan Quran-ku, dan agar Allah berkenan pula menerimanya, lalu mengalirkan
pahalanya kepada nenek, yang telah mengajariku.
[1] Wisma Darus Solihin, Pogung
Dalangan, 22: 55 WIB, 19 Mei 2013.
Image Source: http://static.dezeen.com/uploads/2009/07/past-memories-by-valentin-loellmann-01.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar