30 Desember 2012

Kita dan Jogja


Kita dan Jogja[1]

Tagline “Jogja Berhati Nyaman” tidak semata slogan yang digunakan oleh Pemkot Jogja untuk melakukan city branding/marketing. Pernyataan resmi dari Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP), dalam beberapa kali survey tentang tingkat kenyamanan kota-kota besar di Indonesia, memang Jogja selalu menempati posisi pertama. Stabilitas kondisi sosial, ekonomi, dan politik Jogja juga dinilai lebih unggul dibanding kota-kota besar lainnya di Indonesia. Maka tak ayal, orang berbondong-bondong datang ke Jogja, baik karena berpadu dengan alasan kuliah, bekerja, menghabiskan masa tua, atau yang lainnya, tetap saja “nyaman” menjadi pertimbangan utama.

Berbondong-bondongnya orang datang ke Jogja, ibarat pisau bermata dua. Ada untung dan ruginya. Untungnya, jelas, roda perekonomian kota akan semakin menggairahkan. Untuk dunia mahasiswa saja misalnya. Dunia mahasiswa yang sebagian besarnya diramaikan oleh pendatang ini telah berkontribusi sebesar 9,82 % bagi PDRB DIY. Untuk kuliner saja seluruh mahasiswa di Jogja mengeluarkan uang sebesar Rp 150 Miliar per bulan, atau 5 M per hari[2]. Betapa tidak menggairahkan? Belum lagi sektor-sektor lainnya yang juga mendapat multiplier effect serupa.

Namun tentu juga ada ruginya. Ada asap ada api. Semakin ramai penduduk kota, semakin ramai pula permasalahannya. Ada dua masalah yang ingin saya ungkapkan kali ini.

Masalah pertama, kota semakin macet! Kita lihat akhir-akhir ini sangat ramai di socmed orang-orang membicarakan macetnya Jogja yang sudah luar biasa (bisa jadi nanti menjadi Trending Topic di Twitter). Semakin hari semakin banyak kendaraan bermotor di Jogja, baik itu yang dimiliki oleh mereka yang menetap (sementara atau permanen) atau yang dimiliki oleh mereka yang hanya singgah untuk berwisata dsbg. Semakin hari semakin banyak saja mobil berplat AB .... XX (pertanda mobil baru). Semakin banyak pula tempat tinggal mahasiswa yang saya ragukan itu kos-kosan atau show room mobil. Lihat pula betapa bnyak mobil truk besar pengangkut motor yang parkir di samping monumen Monjali setiap harinya. Saya yakin ratusan/ribuan motor itu untuk di distribusikan di Jogja seluruhnya.

Jumlah penambahan sepeda bermotor meroket, sementara penambahan jalan bisa dibilang stag. Bahkan, sejumlah jalanan di Yogyakarta telah mendekati titik kritis, karena volume kendaraan jauh lebih tinggi ketimbang kapasitas jalanan. VC ratio beberapa jalanan di Jogja telah mencapai 0,7 hingga 0,8 (jika 1 macet total).[3]

Masalah kedua, terkait permasalahan lahan kota. Semua orang tentu butuh lahan. Semakin ramai penduduk kota, otomatis kebutuhan akan lahan semakin meningkat, yang –diantaranya- berdampak dua hal. Pertama, lahan terbangun semakin meningkat yang menyebabkan berbagai dampak pada lingkungan, seperti yang sangat nyata: run-off air yang meningkat, sedang volume air tanah kian susut. Untuk kawasan Sleman sebagai gambaran, luas area terbangun pada tahun 1987 tercatat 10.740 hektar, merangkak jauh menjadi 19.034 hektar pada tahun 2007. Sedangkan untuk penurunan lahan sawah, Kota Yogyakarta paling tinggi yaitu sebesar -6.75%,[4]. Dampak kedua, -karena belum maksimalnya urban land management kita- harga tanah di Jogja merangkak naik gila-gilaan. Sebuah fakta bahwa harga tanah di Jogja merupakan harga tanah termahal kedua di Indonesia, setelah Bali. Terlebih untuk kawasan strategis seperti Malioboro, sebuah kasus menunjukkan penjualan tanah seluas 659 meter persegi telah mencapai harga 9,87 M[5]. Dampaknya akses lahan semakin lama hanya untuk mereka pemilik kapital. Akses lahan bagi kaum menengah kebawah semakin minim.

Memang, sudah ada inisiatif-inisiatif yang muncul untuk mengatasi masalah-masalah di atas (dan masalah urban lainnya), baik dari pemerintah atau non pemerintah. Semisal untuk permasalahan kemacetan, Pemkot/Pemprov  melalui  Dishub telah memasang alat-alat teknologi terbarukan di beberapa traffic light agar rekayasa transportasi bisa lebih optimal. Untuk masalah lahan, Pemkot/Pemprov  melalui  BPN juga telah menyusun peta ZNT (zona nilai tanah) yang diharapkan sedikit banyaknya bisa mengintervensi harga lahan. Atau semisal UGM, yang telah melarang mahasiswa barunya untuk membawa kendaraan bermotor.

Namun, yang ingin saya tanyakan adalah “apa inisiatif kita?“

Kita, sebagai mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota UGM. Atau kita, sebagai warga pendatang.

Saya pribadi, sedikit banyaknya merasa bertanggung jawab atas masalah-masalah di atas karena status saya sebagai Perencana Wilayah dan Kota UGM juga sebagai pendatang.

Karena status saya sebagai perencana kota yang domain utamanya adalah menata ruang kota, saya merasa penting untuk mengkampanyekan pentingnya tata ruang kepada orang-orang disekitar saya. Tak dipungkiri, pengetahuan dan kesadaran orang-orang di sekitar tentang tata ruang masih sangat minim. Padahal merupakan sebuah produk yang sangat solutif untuk berbagai permasalahan kota.

Dalam perspektif status sebagai pendatang, lebih banyak lagi mungkin yang bisa dilakukan. Untuk masalah kemacetan mungkin bisa menjadikan sepeda sebagai pengganti kendaraan bermotor. Atau, saya teringat celetukan seorang salah seorang dosen di FB, kurang lebih beliau berkata “cepat lulus sana! biar Jogja tidak tambah macet”. :D

Demikian dari saya. Memang tidak membahas secara komprehensif dan memberikan solusi yang aplikatif. Namun, harapannya bisa meningkatkan kesadaran kita dan bisa menjadi bahan pikir kita bersama. Lalu agar bisa kita tularkan kesadaran dan bahan pikir tersebut kepada orang lain disekitar kita, dengan harapan semakin sadar mereka, semakin mereka memberikan inisiatif mereka masing-masing.

"Saya berharap saudara dari mana pun berasal, saya berharap merasa aman dan nyaman. Karena Yogyakarta memberikan ruang luas bagi orang luar Yogyakarta, baik bagi yang menetap atau sedang menimba ilmu. Ini rumah sendiri. Kita bersaudara. Ini rumah kami dan saudara tinggal di sini, jadi rumah saudara juga," Perkataan Sri Sulan HB X.[6]  

Baca juga tulisan saya: Perubahan Ruang

[1] Pogung Dalangan, 21:28 WIB, 30 Des. 12.
[2] Survey BI Yogya dan UPN veteran dikutip dari koran Tribun Jogja 26 September 2012
[3] Disebutkan Windarto Koeswandono, Kepala Seksi Rekayasa Lalu-lintas Dinas Perhubungan Yogyakarta, dikutip dari http://jogja.tribunnews.com/2012/06/09/jalanan-yogyakarta-dekati-titik-macet
[4] Pernyataan Rika Harini, S.Si, MP, dikutip dari http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=5221)
[5] Dikutip dari artikel “Harga Naik Dalam Hitungan Bulan” di koran Tribun Jogja, undated.
[6] Dikutip dari http://www.kotajogja.com/berita/index/Sultan:-Yogyakarta-Rumah-bagi-Warga-Indonesia
image source: http://tonihandoko.wordpress.com/tag/jogjakarta/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar