Kita dan Jogja[1]
Tagline “Jogja
Berhati Nyaman” tidak semata slogan yang digunakan oleh Pemkot Jogja untuk
melakukan city branding/marketing. Pernyataan resmi dari Ikatan Ahli
Perencana Indonesia (IAP), dalam beberapa kali survey tentang tingkat
kenyamanan kota-kota besar di Indonesia, memang Jogja selalu menempati posisi
pertama. Stabilitas kondisi sosial, ekonomi, dan politik Jogja juga dinilai
lebih unggul dibanding kota-kota besar lainnya di Indonesia. Maka tak ayal, orang
berbondong-bondong datang ke Jogja, baik karena berpadu dengan alasan kuliah,
bekerja, menghabiskan masa tua, atau yang lainnya, tetap saja “nyaman” menjadi
pertimbangan utama.
Berbondong-bondongnya
orang datang ke Jogja, ibarat pisau bermata dua. Ada untung dan ruginya. Untungnya,
jelas, roda perekonomian kota akan semakin menggairahkan. Untuk dunia mahasiswa
saja misalnya. Dunia mahasiswa yang sebagian besarnya diramaikan oleh pendatang
ini telah berkontribusi sebesar 9,82 % bagi PDRB DIY. Untuk kuliner saja seluruh
mahasiswa di Jogja mengeluarkan uang sebesar Rp 150 Miliar per bulan, atau 5 M per
hari[2]. Betapa
tidak menggairahkan? Belum lagi sektor-sektor lainnya yang juga mendapat multiplier
effect serupa.
Namun
tentu juga ada ruginya. Ada asap ada api. Semakin ramai penduduk kota, semakin
ramai pula permasalahannya. Ada dua masalah yang ingin saya ungkapkan kali ini.
Masalah
pertama, kota semakin macet! Kita lihat akhir-akhir ini sangat ramai di socmed
orang-orang membicarakan macetnya Jogja yang sudah luar biasa (bisa jadi nanti menjadi
Trending Topic di Twitter). Semakin hari semakin banyak kendaraan bermotor
di Jogja, baik itu yang dimiliki oleh mereka yang menetap (sementara atau
permanen) atau yang dimiliki oleh mereka yang hanya singgah untuk berwisata
dsbg. Semakin hari semakin banyak saja mobil berplat AB .... XX (pertanda mobil
baru). Semakin banyak pula tempat tinggal mahasiswa yang saya ragukan itu
kos-kosan atau show room mobil. Lihat pula betapa bnyak mobil truk besar
pengangkut motor yang parkir di samping monumen Monjali setiap harinya. Saya
yakin ratusan/ribuan motor itu untuk di distribusikan di Jogja seluruhnya.
Jumlah
penambahan sepeda bermotor meroket, sementara penambahan jalan bisa dibilang stag.
Bahkan, sejumlah jalanan di Yogyakarta telah mendekati titik kritis, karena
volume kendaraan jauh lebih tinggi ketimbang kapasitas jalanan. VC ratio
beberapa jalanan di Jogja telah mencapai 0,7 hingga 0,8 (jika 1 macet total).[3]
Masalah kedua, terkait permasalahan lahan kota. Semua orang tentu
butuh lahan. Semakin ramai penduduk kota, otomatis kebutuhan akan lahan semakin
meningkat, yang –diantaranya- berdampak dua hal. Pertama, lahan terbangun
semakin meningkat yang menyebabkan berbagai dampak pada lingkungan, seperti
yang sangat nyata: run-off air yang meningkat, sedang volume air tanah kian
susut. Untuk kawasan Sleman sebagai gambaran, luas area
terbangun pada tahun 1987 tercatat 10.740 hektar, merangkak jauh menjadi 19.034
hektar pada tahun 2007. Sedangkan untuk penurunan lahan sawah, Kota Yogyakarta
paling tinggi yaitu sebesar -6.75%,[4]. Dampak kedua, -karena
belum maksimalnya urban land management kita- harga tanah di Jogja
merangkak naik gila-gilaan. Sebuah fakta bahwa harga tanah di Jogja merupakan
harga tanah termahal kedua di Indonesia, setelah Bali. Terlebih untuk kawasan
strategis seperti Malioboro, sebuah kasus menunjukkan penjualan tanah seluas 659
meter persegi telah mencapai harga 9,87 M[5].
Dampaknya akses lahan semakin lama hanya untuk mereka pemilik kapital. Akses lahan
bagi kaum menengah kebawah semakin minim.
Memang,
sudah ada inisiatif-inisiatif yang muncul untuk mengatasi masalah-masalah di
atas (dan masalah urban lainnya), baik dari pemerintah atau non pemerintah. Semisal
untuk permasalahan kemacetan, Pemkot/Pemprov melalui Dishub telah memasang alat-alat teknologi
terbarukan di beberapa traffic light agar rekayasa transportasi bisa lebih
optimal. Untuk masalah lahan, Pemkot/Pemprov melalui BPN juga telah menyusun peta ZNT (zona nilai
tanah) yang diharapkan sedikit banyaknya bisa mengintervensi harga lahan. Atau
semisal UGM, yang telah melarang mahasiswa barunya untuk membawa kendaraan
bermotor.
Namun,
yang ingin saya tanyakan adalah “apa inisiatif kita?“
Kita,
sebagai mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota UGM. Atau kita, sebagai warga
pendatang.
Saya
pribadi, sedikit banyaknya merasa bertanggung jawab atas masalah-masalah di
atas karena status saya sebagai Perencana Wilayah dan Kota UGM juga sebagai
pendatang.
Karena
status saya sebagai perencana kota yang domain utamanya adalah menata ruang
kota, saya merasa penting untuk mengkampanyekan pentingnya tata ruang kepada
orang-orang disekitar saya. Tak dipungkiri, pengetahuan dan kesadaran
orang-orang di sekitar tentang tata ruang masih sangat minim. Padahal merupakan
sebuah produk yang sangat solutif untuk berbagai permasalahan kota.
Dalam
perspektif status sebagai pendatang, lebih banyak lagi mungkin yang bisa
dilakukan. Untuk masalah kemacetan mungkin bisa menjadikan sepeda sebagai
pengganti kendaraan bermotor. Atau, saya teringat celetukan seorang salah
seorang dosen di FB, kurang lebih beliau berkata “cepat lulus sana! biar Jogja tidak
tambah macet”. :D
Demikian
dari saya. Memang tidak membahas secara komprehensif dan memberikan solusi yang
aplikatif. Namun, harapannya bisa meningkatkan kesadaran kita dan bisa menjadi
bahan pikir kita bersama. Lalu agar bisa kita tularkan kesadaran dan bahan
pikir tersebut kepada orang lain disekitar kita, dengan harapan semakin sadar
mereka, semakin mereka memberikan inisiatif mereka masing-masing.
"Saya berharap saudara dari mana pun
berasal, saya berharap merasa aman dan nyaman. Karena Yogyakarta memberikan
ruang luas bagi orang luar Yogyakarta, baik bagi yang menetap atau sedang
menimba ilmu. Ini rumah sendiri. Kita bersaudara. Ini rumah kami dan saudara
tinggal di sini, jadi rumah saudara juga," Perkataan Sri Sulan HB X.[6]
Baca juga tulisan saya: Perubahan Ruang
[1] Pogung
Dalangan, 21:28 WIB, 30 Des. 12.
[2] Survey
BI Yogya dan UPN veteran dikutip dari koran Tribun Jogja 26 September 2012
[3]
Disebutkan Windarto Koeswandono, Kepala Seksi Rekayasa Lalu-lintas Dinas
Perhubungan Yogyakarta, dikutip dari
http://jogja.tribunnews.com/2012/06/09/jalanan-yogyakarta-dekati-titik-macet
[4]
Pernyataan Rika Harini, S.Si, MP, dikutip dari http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=5221)
[5] Dikutip
dari artikel “Harga Naik Dalam Hitungan Bulan” di koran Tribun Jogja, undated.
[6] Dikutip
dari http://www.kotajogja.com/berita/index/Sultan:-Yogyakarta-Rumah-bagi-Warga-Indonesia
image source: http://tonihandoko.wordpress.com/tag/jogjakarta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar