Dulu,
saya bisa berbangga dengan kos (wisma) saya. Jarang-jarang ada kos dekat kampus
yang dikelilingi sawah nan hijau. Begitu keluar gerbang kos, mata ini begitu
senang disuguhi pemandangan hijau nan
alami. Itu di sebelah barat. Berbelok sedikit ke arah utara kos ku, ada juga
pemandangan yang tak kalah indahnya. Pun, sawah nan hijau. Namun yang ini lebih
luas dan lebih indah karena konturnya. Seakan-akan melihat sawah-sawah di ubud.
Suatu kebanggaan tersendiri bagiku memiliki kos seperti ini waktu itu.
Suatu
kesenangan pula bagiku, karena sisi kiri kanan jalan dari kos ku menuju masjid,
waktu itu masih didominasi pepohonan dan semak belukar. Memang tak memberi
dampak langsung, namun berjalan sambil melihat pemandangan hijau saja telah
menyejukkan hati. Sebagaimana pula begitu senangnya aku waktu itu untuk lari
pagi di Jalan Pogung Raya. Jalan yang meskipun telah aspal, namun sisi kiri
kanannya masih dipenuhi sawah. Siapa yang tidak senang berolahraga sambil
melihat pemandangan seperti itu?
Namun,
lain halnya sekarang.
Sekarang,
pemandangan yang kudapati begitu keluar pintu kos adalah tumpukkan batu dan
tanah. Yah, sawah itu kini telah ditimbun dan telah siap dibangun rumah di
atasnya. Utara kos ku bukan lagi sawah seperti ubud, yang ada kini hanya tembok
tinggi yang berfungsi sebagai pagar karena sawah itu telah dibangun sebuah residence.
Pun jalan dari kos ku menuju masjid, kiri kanannya bukan lagi pohon-pohon
rambutan dan semak belukar, namun telah terganti dengan pagar-pagar tinggi yang
menyembunyikan rumah-rumah dan kos minimalis dibaliknya. Begitu juga joging
track-ku, sawahnya-sawahnya telah tergantikan oleh pondasi-pondasi residence
atau timbunan batu dan pasir yang ditancapkan tulisan “dijual siap bangun”.
Dan banyak lagi sebenarnya fenomena-fenomena semisal yang terjadi di Pogung,
terutama Pogung bagian Utara dan Barat.
Begitu
cepatnya ruang ini berubah pikirku, tidak sampai dalam jangka setahun.
Memang
benar ternyata, kalau seseorang mampu membangun view spasial dengan
baik, dampak perubahan spasial akan terasa sangat membatin. Sensitifitas
keruangan akan meningkat sejalan dengan peningkatan pemahaman spasial.
Setidaknya, ini yang kurasakan beberapa waktu terakhir jika melihat daerah
sekitar kosan-ku (dan pogung) secara keruangan.
Fenomena
perubahan ruang ini terus terang menjadi pikiranku beberapa waktu terakhir. Begitu
dinamisnya ruang tempat ku berada sekarang. Perubahan ruang itu tentu terjadi
setelah adanya proses tawar-menawar atau tarik-ulur ruang antara pelaku keruangan.
lalu siapa yang dimenangkan dan siapa yang terkalahkan dalam perebutan ruang
itu?
Ini
yang membuatku tertarik untuk mencoba mentelaah fenomena ini lebih lanjut -dengan
keterbatasan kemampuanku-. Setidaknya, ada tiga pertanyaan yang ingin ku jawab
terkait fenomena ini:
Pertama,
kenapa para pemilik sawah/tanah itu mau menjual tanah mereka kepada developer?
Apa karena hasil sawah tidak lagi menjanjikan? Apa karena developer berani
membeli dengan harga yang sangat tinggi? Atau karena keduannya?
Kedua,
kalau ini terus terjadi, di Pogung dan selain Pogung, dimana lahan-lahan
terbuka terus ditimbun untuk dibangun perumahan, dampak ekologi apa yang bakal
terjadi bagi penduduk Pogung sendiri dan bagi penduduk yang lebih luas? Aku
yakin pasti ada. Sekarang saja sudah mulai terasa, yaitu volume Run-off
terasa semakin meningkat, namun volume air tanah terasa lambat laun mulai
menipis (sebagaimana dicertikan beberapa warga pogung kepada saya).
Terakhir,
apa tidak ada tindakan dari Pemkab Sleman terhadap fenomena –yang mengganggu
menurutku- ini? Instrumen
pengendaliannya apa ada? Apa yang harus pemerintah lakukan?
Nah,
tiga pertanyaan tersebut sebenarnya saling berhubungan. Pertanyaan pertama itu
mewakili market –dalam artian transaksi antara pemilik sawah dan developer-,
pertanyaan kedua mewakili ekologi, dan ketiga terkait pemerintah yang
sebenarnya perannya sangat sentral dalam hal ini. Jadi, menurutku,
market-ekologi-pemerintah lah yang terlibat dalam proses perebutan ruang di
Pogung ini.
Memikirkan
hal itu, lantas aku teringat pernah membaca tulisan Pak Cono di sebuah milist,
yang sangat tepat jika di-qiyas-kan dengan fenomena Pogung ini, dan bisa
membantu ku menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Berikut kutipannya :
Kalau
ruang itu kita pandang sebagai teritori, maka sangat terasa bahwa yang terjadi
adalah perebutan teritori antar sektor, antar segmen masyarakat, antar interest
politik dsb. Substansi yang sesungguhnya dari kekuasaan teritorial adalah
ruang! Kalau kelompok pemberontak diberitakan merebut Tripoli, itu adalah
sebuah entitas keruangan. Kalau pedagang kaki lima meluber di sekitar pasar dan
memacetkan lalulintas, itu juga adalah perebutan ruang antar kepentingan
kehidupan.
Bahkan,
perebutan ruang terjadi antar-spesies: manusia telah merebut ruang yang
seharusnya milik alam, dan dengan demikian memunahkan spesies2 lain demi
kepentingan manusia. Kemudian secara intra-spesies, manusia saling berebut
teritori kehidupan masing-masing.
Yang terjadi di Indonesia dan dikeluhkna oleh
pak --- itu adalah gejala ketidak-mampuan (atau kebelum-mampuan) kita untuk
mengelola, menata, mengorganisasikan proses perebutan itu. Jadi, -----, menurut
saya pada saat ini kita sedang mengalami dua-duanya: market failure dan
government failure, yang mengancam untuk berujung pada "ecological
failure" yang bisa berdampak global. Kalau kita tidak dapat mengendalikan
konversi lahan hutan/gambut menjadi kebun sawit, dampaknya dalam hal emisi
karbon akan mendunia.
Inilah
persoalan kita semua. Secara normatif pasar dan pemerintah itu saling mengisi:
bila satu gagal, yang lain mengisi. Kalau kedua-duanya gagal, lalu siapa yang
mengisi? Apakah lalu sampurnya jatuh pada "pihak ketiga" yaitu
masyarakat/LSM/kelompok minat/pressure groups, kita ini? –sampai sini tulisan
Pak Cono
Setidaknya,
statement Pak Cono ini memberikan pencerahan terhadap dua pertanyaanku.
Yang pertama, ya memang harusnya pemerintah mengendalikan pasar lahan. Pemerintah
(dalam hal ini Pemkab Sleman) harus memiliki mekanisme yang mengatur agar
transaksi antar pemilik sawah dan developer bisa terkendali. Dalam
artian, agar tidak terjadi perebutan ruang sehingga merugikan salah satu pihak
pengguna ruang (saya misalnya). Yang kedua, ketika perebutan ruang terus terjadi
dan pihak-pihak yang sebenaranya berhak memanfaatkan ruang menjadi terpojokkan
secara keruangan, serta pemerintah tidak berhasil mengendalikan land market,
maka jika fenomena semacam ini terus dibiarkan, akan terjadi ecological failure.
Bukan tidak mungkin hal ini terjadi jika melihat sawah-sawah sleman yang terus
berubah menjadi perumahan secara sequen dan linier menuju utara. Tatkala
perebutan ruang di Sleman (seperti di Pogung) terus terjadi tanpa ada mekanisme
pengendalian, ecological failure itu tidak akan berdampak bagi
warga Sleman saja, tapi Jogja-Bantul pun akan terkena, seperti kesulitan mendapatkan
air tanah. Dan dalam kasus Pogung ini, mungkin bisa juga dalam skala pogung
akan terjadi ecological failure dalam jangka panjang.
Membahas
ini, aku jadi teringat buku yang kemarin diberikan Pak Kawik, judulnya “Managing
Fast Growing Cities”. Kucoba membuka-buka buku ini berharap ada pembahasan
yanng terkait hal ini. Dan ternyata memang ada. Ada satu chapter yang
ditulis oleh Michael Mattingly yang berjudul Urban Management Intervention
in Land Markets.
Chapter
ini menceritakan bagaimana (kondisi dan seharusnya) urban management
in land market di negara dunia ketiga. Apa yang
digambarkan oleh Mattingly sama persis dengan kondisi kota-kota di Indonesia,
termasuk Sleman. Misalnya dikatakan :
“In
undertaking the interventions which management demand, most developing
countries governments have been too little or no concern for market
side-effects. Where governments have been endowed with large quantities of public
land and have specified use and ownership as terms of their allocation, this
stewarship has suferred from a failure to understand how allocated land can be
subject ti market forces.”
Sebenarnya
chapter yang ditulis oleh ini Mattingly bertujuan untuk memberikan
solusi bagaimana seharusnya peran pemerintah dalam mengendalikan perebutan
lahan. Misalnya beliau mengataka :
“Public
development policies seek changes in prices, ownership, and use of land from
that which the market mechanism produces.”
Kembali
lagi ke Pogung. Yah...Pogung telah demikian adaya. Telah menjadi tempat
pertarungan ruang yang dahsyat. Lalu apa yang harus dilakukan? Tentang bagaimana
baiknya sikap pemerintah memanajemen land market agar tidak
terjadi market failure dan ecoligical failure
Michael Mattingly telah merumuskan dengan baik di dalam tulisannya. Lalu apa
yang bisa kita lakukan? (karena sebenarnya kita juga tidak bisa serta merta
menyalahkan pemerintah), mungkin sangat tepat apa yang dikatakan Pak Cono :
Tapi
apa yang bisa kita perbuat selain berteriak-teriak? Dapatkah kita ini membentuk
kekuatan yang bisa memengaruhi proses perebutan itu? Mungkin ini juga sekedar
isapan jempol belaka, karena apatah kita ini? Cuma sekedar kelompok yang suka
tukar gagasan di ruang yang tidak berdimensi? Kesempatan bikin pernyataan
politik yang ditawarkan pak ---- memang tidak bisa diharapkan untuk memengaruhi
apa2. Kekuatan2 yang berebut ruang itu sangat besar, dan sukar dibelokkan. Jadi
sebenarnya pernyataan politik itu arahnya lebih pada diri kita sendiri, untuk
memperkuat komitmen kita pada keprihatinan kita sendiri, agar kita lebih
terdorong lagi untuk menyebarkan keprihatinan ini ke orang lain, ke lingkungan
sekitar kita, kepada murid2 kita. Dengan harapan makin banyak orang yang
merasakan kepedihan ruang kita dan dapat memengaruhi alam pikiran mereka ketika
mereka berbuat dalam otorita masing2. Insya Allah "the power of
numbers" dapat memengaruhi proses perebutan ruang.
Mungkin
demikian ceritaku. Memang pertanyaanku diatas belum terjawabb secara utuh. Tapi
setidaknya bisa menjadi pemikiran dan kesadaran bersama. Sekali lagi, mungkin
fenomena ini tidak terlalu terasa bagi yang tidak terbiasa membangun view
keruangan, namun sangat terasa bagi kami yang memang dilatih untuk itu.
Nb :
Semoga ada yang mau meneliti : dampak sosio-ekologi pembangunan Pogung Baru Residence
di pogung, yang tanahnya dulunya murni sawah 100%. Risih je ngeliyatnya.
Selesai
ditulis 10:38 a.m 10 Desember 2011. Wisma Darus Solihin, Pogung Dalangan
COMMENTS