Tersebutlah kisah tentang enam orang dari Bani Tsaqif yang datang ke Madinah untuk menemui Rasulullah. Mereka adalah delegasi kaumnya untuk berunding dengan Rasulullah tentang rencana mereka untuk menerima Islam. Bani Tsaqif merasa terdesak untuk memeluk Islam, karena pada akhir-akhir hayat Rasulullah, kabilah-kabilah di jazirah Arab berbondong-bondong memeluk Islam. Rasulullah menyediakan tenda-tenda di masjid untuk tempat tinggal mereka selama di Madinah. Dari tenda ini mereka dapat mendengarkan Al-Qur’an dan melihat bagaimana kaum muslimin melaksanakan salat. Setiap pagi selama tinggal di sana, lima dari enam

Para sahabat Nabi, mereka adalah tabur bintang. Pemberi cahaya di gulitanya pengetahuan umat. Pendaran dari penjuru langit ketaatan yang mampu manusia lakukan. Berjalanlah para sahabat Nabi menapak bumi Allah yang luas ini. Melanglang mereka untuk menjalankan tugas yang mulia: mengajarkan manusia cara menyembah Rabb mereka, mentashfiah jiwa-jiwa yang kotor karena kemaksiatan, dan meneruskan estafet dakwah dari manusia kecintaan mereka, Sang Baginda Nabi yang paling mulia. Di posko-posko pengajarannya masing-masing para sahabat berjaga, membentuk konstelasi pengamanan umat. “Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit.

Kemarin saya membaca Syarah Arbain Nawawiyyah karya Shaikh Ibnul ‘Utsaimin. Pada penjelasan hadis keenam, beliau menyatakan bahwa tempat akal sebenarnya adalah di jantung, bukan di otak—sebagaimana yang diyakini oleh kebanyakan orang selama ini. Beliau berdalil dengan Surat Al Hajj ayat 46, yang potongan artinya: “mereka memiliki jantung [1] yang dengan itu mereka menggunakan akalnya [2] (berfikir)” Saya sebenarnya sudah pernah mendengar hal ini dulu ketika masih kuliah S1 di Jogja. Namun membaca penjelasan ini lagi, kembali muncul pertanyaan di benak saya: bagaimana mengkompromikan
Bagaimana Rasulullah mendeskripsikan resiliensi seorang mukmin: Diriwayatkan dari Ka'ab bin Malik, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Perumpamaan orang Mukmin adalah seperti batang pohon yang lentur tapi kokoh apabila digoyang-goyangkan angin; sekali diterpa angin ia akan rebah dan lalu tegak kembali sampai akhir hayatnya...." (HR Muslim, 8: 136) Video siang ini di halaman depan rumah. Lovely sunny day in Newcastle. Alhamdulillah.

“Siapakah yang lebih baik bagiku daripada Abu Salamah?” Itulah kalimat yang diucapkan oleh Ummu Salamah ketika suaminya tercinta harus kembali ke hadapan Rabb-nya. Tak ada. Tak ada suami yang lebih baik dari suaminya, pikir Ummu Salamah, tersebab teramat besar kecintaannya terhadap Abu Salamah. Berulang-ulang kalimat itu diucapkannya setelah wafatnya Abu Salamah, hingga akhirnya ia teringat kepada do’a yang diajarkan oleh Rasulullah untuk diucapkan ketika tertimpa musibah: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ – اَللَهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا INNAA LILLAAHI WA

Hanya ingin berucap syukur pada Sang Pencipta, bahwa kami telah dicukupkannya dengan hal-hal yang sederhana, dan dijadikannya kami bahagia dengan hal-hal yang sederhana pula. Dicukupkannya kami dengan hanya perlu berjalan kaki untuk memenuhi mayoritas kebutuhan kami. Berjalan kaki ke masjid. Berjalan kaki ke tempat kerja. Berjalan kaki ke tempat berbelanja. Dan berjalan kaki ke tengah kota. Diberikannya kami masjid yang sederhana, namun mampu memberi kesan bersahaja. Tidak megah fisiknya, namun di sana diajarkan agama-Nya dan ditegakkan sunnah Nabi-Nya. Dipilihkannya kami tempat-tempat berbelanja yang

Kalau melihat teman-teman di sini yang berasal dari Afrika yang tampak hanif jiwanya, yang melazimi sunnah Nabi, bersemangat atas kebaikan, dan seringnya paling buncit meninggalkan masjid di waktu subuh karena panjangnya zikir pagi mereka, saya sering teringat pada Raja Najasyi, penguasa Ethiopia di zamannya. Dialah raja yang hanif jiwanya—yang mau menerima kebenaran dari Allah yang dibawa oleh Rasul-Nya. Pernah suatu ketika Raja Najasyi meminta Ja’far bin Abi Thalib untuk membacakan ayat-ayat dari Al Qur’an dan Ja’farpun membacakan surat Maryam. Maka tatkala mendengar lantunan
Hati burung tak pernah resah Apakah dirinya akan beroleh nafkah ini hari. Ia hanya mengepak sayap, Merajut cinta dengan ranting dan musim, Lalu bertawakkal sempurna pada Penciptanya, Hingga tak kurang kenyangnya oleh rezeki-Nya. Jadikanlah hati, seperti hati burung. ***** Rasulullah bersabda: يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَقْوَامٌ أَفْئِدَتُهُمْ مِثْلُ أَفْئِدَةِ الطَّيْرِ “Akan ada sekelompok orang yang masuk surga, hati mereka seperti hatinya burung.” (HR. Ahmad 8382 & Muslim 7341). لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا “Kalaulah kalian

Rumah kami berbenah. Lantainya tak lagi berdebu karena telah disapu. Dedaunan kering dan sesampahan di halaman telah dibersihkan. Bed cover di kamar itu, telah diganti. Kulkas telah terisi dengan bumbu-bumbu masakan, tinggal nanti diracik, untuk kemudian disaji. Rumah ini sudah dalam kondisi terbaiknya. Tak ada kenduri di rumah ini. Tak ada jemputan untuk pejabat negeri. Hanya saja, anak kami yang telah lama di rantau itu, hari ini pulang. A n a k k a m i . P u l a n g

Foto terlampir adalah foto aeropolis yang berada tidak jauh dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Sudah dua hari belakangan saya tinggal di kawasan aeropolis yang baru mulai dikembangkan pada tahun 2012 ini. Kali pertama saya mendengar istilah aeropolis/aerotropolis adalah dulu ketika masih kuliah S1. Ada beberapa istilah sebenarnya yang digunakan dalam literatur yang menunjukkan makna yang serupa: aeropolis, aerotropolis, aero city, airport city, dan kota bandara. Inti konsep aerotropolis merujuk pada konsep pembangunan kawasan di mana tata guna lahan, infrastruktur, dan perekonomiannya dirancang untuk berorientasi