Para sahabat Nabi, mereka adalah tabur bintang. Pemberi cahaya di gulitanya pengetahuan umat. Pendaran dari penjuru langit ketaatan yang mampu manusia lakukan.

Berjalanlah para sahabat Nabi menapak bumi Allah yang luas ini. Melanglang mereka untuk menjalankan tugas yang mulia: mengajarkan manusia cara menyembah Rabb mereka, mentashfiah jiwa-jiwa yang kotor karena kemaksiatan, dan meneruskan estafet dakwah dari manusia kecintaan mereka, Sang Baginda Nabi yang paling mulia.

Di posko-posko pengajarannya masing-masing para sahabat berjaga, membentuk konstelasi pengamanan umat.

“Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika lenyap bintang-bintang itu, maka akan datang apa yang dijanjikan atas langit. Aku adalah pengaman bagi para sahabatku. Bila aku pergi, maka akan datang apa yang dijanjikan atas sahabatku. Sahabatku adalah pengaman bagi umatku. Bila sahabatku pergi, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas umatku.” (HR Muslim: 2531) 
Sepeninggal Sang Baginda, banyak dari mereka yang menetap di tempat di mana Islam bermula, Mekah. Banyak juga yang menetap di tempat dimana Islam berkembang, Madinah. Dan banyak pula dari mereka yang menetap di negeri-negeri “muda”, tempat-tempat yang belakangan menerima Islam seperti Damaskus, Homs, Bashrah, Kuffah, Mesir, Khurasan, Sijistan, Ashbahan, Samarqand, dan lainya.

Tak akan mampu bintang bersinar selamanya, akan padam ia pada masanya. Maka begitu pun halnya dengan para Sahabat Nabi. Tugas mereka ibarat bintang di muka bumi juga fana. Seratus tahun, itulah masa tugas mereka yang telah Nabi isyaratkan dalam sabda beliau sebulan sebelum wafatnya.

Ibnu Umar berkata:
“Rasulullah salat bersama kami pada akhir hayatnya. Setelah salam, Rasulullah berdiri dan bersabda, ‘tidakkah kalian melihat pada malam ini, sesungguhnya pada penghujung seratus tahun semenjak malam ini, tidak akan ada lagi orang yang saat ini masih hidup di atas muka bumi ini’.”(HR. Bukhori: 116) 
Mendekati akhir masa tugasnya, padamlah bintang itu satu persatu. Dan mulailah temaram kembali langit pengetahuan umat.

Padamlah bintang itu di Damaskus dengan wafatnya Watsilah bin Al Asqa’ Al Laitsi pada 86 Hjiriyyah. Padam pula bintang itu di Homs, dengan wafatnya Abdullah bin Bisri Al Mazini pada 96 H. Padam juga di Madinah dengan wafatnya Mahmud bin Robi’ Al Anshori pada 99 H. Di Bashrah, wafat Anas bin Malik pada 93 H. Di Kuffah, wafat Abdullah bin Abi Aufa pada 87 H. Di Mesir, wafat Abdullah bin Haris Az Zubaidi pada 89 H [1].

Mereka-mereka adalah para sahabat Nabi yang terakhir wafat di kotanya masing-masing.

Pertanda habisnya keberadaan sebaik-baik manusia setelah para Nabi di seluruh muka bumi ini adalah wafatnya ‘Amir bin Watsilah Al Laitsi di Makkah pada tahun 110 Hijriyah.

Tak ada lagi lentera ilmu yang benderang bagi umat di muka bumi. Tak ada lagi penyambung langsung sabda Rasulullah setelahnya. Wafatnya ‘Amir bin Watsilah juga pertanda tentang benarnya apa yang telah beliau sabdakan pada tahun 10 H bahwa usia para sahabatnya hanya 100 tahun setelahnya.

Abdullah bin Mas’ud berkata,
“Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba-Nya. Didapatinya yang paling baik adalah hati Muhammad, maka Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya untuk membawa risalah-Nya. Kemudian Allah kembali melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad, maka didapatinya hati yang paling baik ialah hati para sahabatnya. Maka Allah menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu Nabi-Nya dan berperang untuk agama-Nya. Segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin (yaitu para sahabat) maka pasti baik di sisi Allah. Segala sesuatu yang dipandang jelek oleh kaum muslimin (yaitu para sahabat) maka pasti jelek juga di sisi Allah.” (Sahih, Ahmad: 3600, Al Bazzar: 1816, dan Ath Thabrani: 8582) 
Semoga Allah menambahkan keridhoan-Nya atas mereka.

Kini tinggallah kita—yang semoga selalu bisa berusaha mengais setiap pusaka yang mereka tinggal dan semoga selalu bisa menulusur jejak langkah yang mereka titi.
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshor, serta yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100) 

*****

Newcastle upon Tyne, 23:23 BST, 10 April 2017. Renungan setelah pelajaran Mustholah Hadits.

[1] Dikutip dari kitab Mustholah Hadits karya Syaikh Muhammad bin Solih Al ‘Utsaimin