Di tengah gelap malam 24 Juni 1982, awak kokpit dan para penumpang British Airways flight 009 menyaksikan pemandangan yang aneh: bagian luar pesawat mereka diselimuti percikan putih, seperti percikan listrik. Celakanya, tak lama setelah itu pesawat Boeing 747 yang baru saja berhenti di Kuala Lumpur untuk menuju Perth ini tiba-tiba kehilangan tenaga pendorong. Empat mesin pesawat yang mereka miliki seluruhnya tiba-tiba mati.

Pada ketinggian 37.000 kaki, pesawat melayang bebas tanpa ada daya dorong pada mesin. Setiap 15 kilometer yang terlewati, ketinggian pesawat berkurang satu kilometer. Hal ini berlangsung selama beberapa waktu tanpa ada yang tahu apa penyebabnya. Radar menunjukkan ruang udara yang sedang mereka lewati berstatus clear, tidak ada masalah. Pilot akhirnya memutuskan untuk memutar balik pesawat ke arah Jakarta dan telah bersiap untuk skenario terburuk: melakukan pendaratan di laut. Namun, sebagaimana mereka terkagetkan oleh hilangnya power pada empat mesin mereka, mereka kemudian terkagetkan dengan kembali bekerjanya keempat mesin yang juga terjadi dengan tiba-tiba.

Setelah pesawat akhirnya bisa didaratkan dengan aman di Bandara Halim Perdana Kusuma, dilakukan penyelidikan intensif tentang apa penyebab insiden ini. Diketahuilah penyebabnya ternyata adalah abu vulkanik yang bergelantung di ruang udara yang bersumber dari erupsi Gunung Galunggung. Pesawat BA 009 ternyata bisa kembali mendapat power engine karena telah keluar dari gumpalan abu vulkanik.

Kejadian inilah yang membuat dunia internasional tahu bahwa ternyata keberadaan abu vulkanik di ruang udara berbahaya bagi penerbangan. Dan dikarenakan abu vulkanik tidak terdeteksi oleh radar, maka setelah adanya kejadian ini didirikanlah 9 Volcanic Ash Advisory Centre (VAAC) yang bertugas mendeteksi keberadaan abu vulkanik di ruang udara di seluruh dunia.

Mendeteksi keberadaan volcanic ash dan menyebarkan informasinya ke pihak terkait di sektor penerbangan bukanlah hal yang mudah. Dunia internasional, yang dikomandoi oleh ICAO (International Civil Aviation Organization), masih mencari format yang ideal tentang hal ini: bagaimana abu vulkanik bisa dideteksi, dikomunikasikan, dan diambil keputusan untuk memitigasi kecelakaan pada pesawat.

Kita patut bersyukur, di dunia internasional dalam hal ini Indonesia bisa dibilang selangkah lebih maju dari negara-negara lain. Bagaimana banyak aktor di sektor penerbangan Indonesia (seperti Dirjen Perhubungan Udara, PVMBG, BMKG, dll) berkomunikasi dan berkolaborasi untuk memitigasi dampak abu vulkanik terhadap penerbangan, banyak mendapat apresiasi dari dunia internasional dan telah menjadi contoh bagi yang lainnya.

Dan siang ini, saya beruntung bisa berkunjung ke salah satu pemeran penting dalam proses tersebut: BMKG. Foto terlampir adalah foto hari ini ketika saya ditunjukkan bagaimana BMKG mengamati abu vulkanik di ruang udara Indonesia melalui satelit HIMAWARI dan bagaimana mereka memproses citra satelit tersebut untuk disebarkan ke pihak terkait.