REFLEKSI SATU TAHUN PERNIKAHAN: UNTUK PARA BUJANG YANG MENYENGAJA MENUNDA MENIKAH

1 Agustus 2016: 1 Tahun Usia Pernikahan.

Saya baru merasakan yang namanya celana kekecilan ketika dewasa itu setelah menikah. Berat badan meningkat, lingkar pinggang membesar, walhasil beberapa celana sesak kalau hendak dipaksa dipakai. Bagaimana tidak. Dulu waktu masih membujang di Newcastle, makanannya ya kalau gak pesen lauk-pauk (catering), ya fast-food. Kalau mau bawa bekal ke kampus ya cuma bisa nyiapin biskuit-biskuitan + buah-buahan. Kalau udah bosen, bisa nyari fast-food di kampus, dengan konsekuensi harus merogoh kocek lebih dalam. Kalau sekarang bekalnya kumplit bin lengkap. Nasi, lauk, sayur, buah (yang kadang 2-3 macam jenis buah). Kalau ngampus ransel penuh oleh kotak-kotak bekal.

Tapi ya itu hanya semacam keuntungan yang berbau ambisi pribadi bagi saya :). Memang nyatanya ada juga para bujang yang tetap bisa menyiapkan bekalnya kumplit tanpa perlu adanya bantuan istri.

Tak perlu saya jelaskan lagilah satu per satu keuntungan menikah dalam kacamata Islam. Sudah banyak yang menuliskannya di internet tentang hal itu. Saya cuma ingin mengedepankan beberapa poin sebagai tanggapan atas dalih sebagian bujang yang pernah saya baca, tentang kenapa mereka memilih untuk menunda menikah.

Jadi para bujang ada yang menyuarakan tentang waktu free yang akan berkurang ketika menikah (dengan berbagai gaya bahasanya: tidak ada waktu untuk aktualisasilah, tidak ada waktu untuk meningkatkan skill pribadilah, dst).

Menurut saya, memang ada benarnya. Satu tahun menikah memang saya merasa “waktu free” saya berkurang. “Me time” yang orang-orang sebut itu sudah jarang. Contohnya dulu kalau diajakin main tenis sama teman, tinggal cek jadwal sendiri, kalau cocok mah ayok-ayok saja. Sekarang ada jadwal istri yang juga harus ditimbang kalau mau bikin jadwal dengan orang. Bagi saya itu seperti opportunity cost. Memang ada yang harus dikorbankan untuk mendapatkan keuntungan lainnya yang lebih besar. Dan termasuk juga dalam opportunity cost menikah adalah timbulnya permasalahan-permasalahan rumah tangga yang mau tidak mau pasti hadir.

Namun percayalah, banyak kebaikan-kebaikan yang baru bisa terlaksana setelah menikah. Dan yakinlah, peluang untuk terjaga di atas jalan ketakwaan itu lebih besar. Peluang untuk mendekat kepada Allah lebih banyak.

Dan saya juga percaya, di antara keuntungan terbesar dari menikah adalah: adanya peluang untuk memiliki keturunan solih-solihah yang bisa jadi ladang pahala jariyah—dari tiap ilmu yang kita ajarkan sebagai orang tua, lalu mereka praktikkan. Dari tiap-tiap doa mereka kelak ketika kita telah tidak di dunia.

So, pada para bujang yang tidak memiliki alasan yang syar’i untuk menikah saya ingin berkata: menikahlah!

Dan atas satu tahun usia pernikahan, saya ingin berucap: segala puji hanya bagi Allah yang dengan nikmat-Nyalah tersempurna segala kebaikan. Semoga Allah selalu memberkahi dan mengumpulkan kami dalam kebaikan.