/1/

Suatu waktu ketika saya masih duduk di bangku SMA, saya dan teman-teman mengadakan acara buka puasa bersama di Bulan Ramadan. Sambil menunggu datangnya waktu berbuka seorang teman tiba-tiba memutar sebuah rekaman suara dari HP-nya. Suara itu diklaim sebagai suara azab kubur yang direkam oleh seorang pekerja tambang dalam kedalaman tanah tertentu.

Terlepas dari pembahasan benar-tidaknya rekaman itu, saya ingat betul waktu itu badan saya seketika menggigil, jantung saya berdegup kencang, dan darah saya terasa mendesir gamang. Untuk pertama kalinya saya berfikir dan bertanya, “Bagaimana jika aku mati? Bagaimana aku di kubur nanti?”.

Di sepanjang perjalanan pulang dan setibanya di rumah pikiran saya tidak tenang dan terus bertanya-tanya: “Bagaimana jika aku mati? Bagaimana aku di kubur nanti?”

/2/

Masih waktu SMA juga, dalam sebuah diskusi ringan seorang teman memberi tahu saya tentang hadis perpecahan dalam tubuh umat Islam, di mana Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan. 72 akan masuk neraka dan yang satu golongan akan masuk surga.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dll, derajatnya hasan). Saya seketika langsung mengernyit, “Golonganku yang mana? Apa aku termasuk yang satu itu atau tujuh puluh dua?”

/3/

Di penghujung masa SMA, saya membaca sebuah buku yang memuat hadis yang derajatnya hasan yang sangat mengagetkan saya ketika itu. Hadis itu mengisahkan tentang Abu Musa Al-Asy’ari yang tergesa untuk menemui sahabat Ibnu Mas’ud. Kata Abu Musa Al-Asy’ari kepada Ibnu Mas’ud:

“Wahai Abu Abdirrahman sesungguhnya aku baru saja melihat di masjid suatu perkara yang aku ingkari dan aku tidak berprasangka—alhamdulillah—kecuali kebaikan”.

“Apa perkara itu?” Tanya Ibnu Mas’ud.

Abu Musa Al-Asy’ari menjelaskan:

“Apabila engkau berumur panjang maka engkau akan melihatnya. Aku melihat di masjid ada sekelompok orang duduk-duduk dalam beberapa halaqoh sambil menunggu datangnya shalat. Di setiap halaqoh ada seorang lelaki yang memimpin, sementara di tangan-tangan mereka ada batu-batu kecil. Lalu pemimpin halaqoh itu berkata, “Bertakbirlah kalian sebanyak 100 kali”, merekapun bertakbir 100 kali. Orang itu berkata lagi, “Bertahlillah kalian sebanyak 100 kali”, merekapun bertahlil 100 kali. Orang itu berkata lagi, “Bertasbihlah kalian sebanyak 100 kali”, merekapun bertasbih 100 kali.”

Singkat cerita Ibnu Mas’ud dan sekelompok sahabatnya tadi pun mendatangi satu halaqoh di antara halaqoh-halaqoh tadi, lalu beliau berdiri di depan mereka dan berkata,

“Perbuatan apa pula ini yang kalian lakukan?”

Orang-orang di halaqoh tadi menjawab,

“Wahai Abu Abdirrahman, ini adalah kerikil-kerikil yang kami pakai untuk menghitung takbir, tahlil, dan tasbih dengannya”

Ibnu Mas’ud berkata, “Hitunglah kejelekan-kejelekan kalian dan aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan sia-sia! Betapa kasihannya kalian wahai ummat Muhammad! Begitu cepatnya kehancuran kalian! Ini, mereka para sahabat Nabi kalian masih banyak bertebaran. Ini pakaian Beliau belum usang dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya kalian betul-betul berada di atas suatu agama yang lebih berpetunjuk dari pada agama Muhammad ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan!”

Mendengar kemarahan Ibnu Mas’ud tersebut mereka pun membela diri, “Wahai Abu Abdirrahman, demi Allah, yang kami inginkan tidak lain adalah kebaikan”.

Ibnu Mas’ud kembali berkata

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan akan tetapi dia tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah menceritakan kepada kami tentang suatu kaum, mereka membaca Al-Qur`an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui tenggorokan mereka. Demi Allah, aku tidak tahu barangkali kebanyakan mereka adalah dari kalian.” (HR. Ad-Darimi, disahihkan oleh Al-Albani).

Membaca hadis panjang tersebut membuat saya juga keheranan: “Bukankah itu praktik kebanyakan orang di tempat saya saat ini? Berzikir berjamaah/berhalaqoh dengan dikomandoi, dan itu diingkari oleh Ibnu Mas’ud?”

/4/

Tiga episode di atas adalah momentum yang menjadi titik balik bagi saya untuk memiliki perhatian terhadap Islam dan memutuskan untuk mempelajari Islam sebisanya. Dan jika kita menilik kisah-kisah bagaimana generasi solih terdahulu berislam, ada satu kata kunci yang akan banyak kita dapati dari mereka: momentum. Ada suatu momentum bagi mereka untuk berubah.

/5/

Adalah Umar bin Khattab, yang akhirnya memutuskan untuk berislam setelah ia mendengar dan membaca surat Toha dari Al Quran. Yang karenanya pula ia berani mengumumkan kepada penduduk Mekah, “saksikanlah bahwa Umar telah memeluk Islam!” Adalah Fudhail bin Iyadh, yang bertobat atas segala dosa-dosanya karena mendengar satu ayat Allah. Yang karenanya pula menjadikan ia meninggalkan profesinya sebagai seorang perampok dan menjadikannya seorang ulama tersohor. Dan adalah Dhimad Al Azdi yang memutuskan untuk memeluk Islam ketika mendengar Rasulullah membacakan khutbatul hajah. Yang karenanya pula ia mengislamkan kaumnya.

/6/

Secara umum, bagi para sahabat Nabi momentum perubahan yang sangat berarti bagi mereka adalah ketika berhijrah. Dan jika melihat orang-orang sekarang, momentum perubahan itu ada yang mereka dapati ketika berhaji, ketika bulan Ramadan, ketika jauh dari orang tua/keluarga, atau ketika menemukan lingkungan baru yang lebih baik. Atau seperti Teuku Wisnu, ketika mempersiapkan diri menjadi seorang ayah.

/7/

Di mana momentum kita agar bisa selalu menjadi lebih baik? Akankah kita seperti Al Fudhail bin Iyadh yang ketika mendengar ayat Allah: “Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka untuk mengingat Allah?” (QS. Al-Hadid: 16) Lalu beliau menjawab: “Benar, telah tiba waktunya.”

Semoga Allah selalu menunjuki dan menjaga kita di atas ketaatan.

Elswick, Newcastle upon Tyne. 09:34 GMT, 29 November 2015.