Tahun 2014 bisa dibilang tahun dimana saya memporsir diri saya untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris, terkhusus listening. Dalam rentang waktu tersebut berbagai metode telah saya tempuh untuk bisa memahami apa yang orang ucapkan dalam bahasa Inggris. Hasilnya—meskipun belum sempurna—kini saya bisa melakukan makan malam sambil mendengarkan berbagai podcast dan video dari TED, BBC, dll. Dan dari situ saya jadi bisa tahu tentang state-of-the-art ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan oleh manusia. Bagi saya, bisa mendengarkan dan menyaksikan penjelasan tentang state-of-the-art ilmu pengetahuan adalah kenikmatan yang luar biasa.
Beberapa tahun sebelum itu, saya juga sudah “memaksa” diri untuk mempelajari bahasa Arab—yang salah satu tujuannya adalah agar saya juga bisa mengakses sumber utama/sumber asli dari referensi-referensi keilmuan dalam Islam. Saya terus terang sering tidak puas jika membaca buku-buku terjemahan terkait ilmu Islam. Dan setelah menguasai bahasa Arab—meski juga masih jauh dari sempurna—saya tak tahu bagaimana mengungkapkan kenikmatan bisa mengkaji sesuatu dari sumber aslinya.
Dari dua ilustrasi di atas, saya juga kemudian menjadi tahu betapa sedikit dan kecilnya ilmu yang tersebar di tengah-tengah masyarakat kita yang menggunakan bahasa Indonesia (dengan tidak bermaksud meremehkan usaha mereka yang mengembangkan ilmu pengetahuan dengan bahasa Indonesia). Terkait ilmu saya khususnya, perencanaan wilayah dan kota. Jika saya membandingkan dari textbook-textbook yang ada yang menggunakan bahasa Indonesia dengan state-of-the-art yang ditulis dengan bahasa Inggris, alangkah jauhnya kita tertinggal. Atau terkait ilmu agama, betapa saya menjadi mengerti kenapa ada syarat “menguasai bahasa arab” bagi seseorang yang ingin berfatwa. Atau bahkan yang lebih “sedikit ekstrim”, saya juga menjadi mengerti kenapa sebagian orang berkata “bagaimana bisa dikatakan ustadz, jika tidak bisa berbahasa arab”, karena memang lautan ilmu Islam ditulis dengan tinta-tinta ulama dengan bahasa Arab.
Dan ilustrasi tersebut sejatinya juga menjadi motivasi bagi saya, at least dalam tiga hal. Pertama, hal tersebut memotivasi saya untuk menyadarkan orang di sekitar tentang pentingnya menguasai bahasa Arab dan juga bahasa Inggris. Kedua, memotivasi saya untuk mendisemenasikan ilmu pengetahuan itu kepada meraka yang belum mampu mengakses sumbernya secara langsung, minimal dengan memperbanyak menulis/menerjemah. Ketiga, memotivasi saya untuk terus belajar. Ungkapan “semakin banyak belajar semakin merasa bodoh” selalu ada benarnya.
Terakhir, di antara yang memotivasi saya untuk menulis ini adalah karena saya kembali teringat gambar di atas ini. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari tulisan pada gambar tersebut. Artinya:
“orang-orang berkata: betapa kasihannya mereka yang tidak mengerti bahasa Inggris, karena mereka akan menemui kesulitan dalam memahami perkataan mayoritas manusia. Dan aku berkata: betapa kasihannya mereka yang tidak mengeri bahasa Arab, karena mereka akan menemui kesulitan dalam memahami perkataan Pencipta manusia (maksudnya Al Quran)”
COMMENTS