Sepatutnya sebagai seorang muslim kita memiliki prinsip keimanan dalam diri bahwa:

tidak harus ada bukti ilmiah untuk membuat kita percaya bahwa apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya itulah yang terbaik untuk kita. Tanpa ada bukti ilmiah pun, kita percaya bahwa pasti ada kebaikan di balik perintah-perintah itu. 
Prinsip seperti ini saya anggap penting karena dengan itu kita tidak akan terdorong untuk mengarang-ngarang cerita yang dikesankan sebagai bukti ilmiah dari hikmah ajaran islam, atau juga tidak menjadi terdorong untuk membagikan berita tanpa menilainya secara kritis terlebih dahulu: apakah berita itu benar atau hanya hoax semata? Dan saya cukup gerah dengan bersliwerannya berbagai berita/cerita hoax di berbagai media (fb, blog, broadcast message, dll) yang dikesankan ilmiah untuk membela syariat Islam. Saya sebutkan sedikit contoh dari apa yang saya ingat pernah saya lihat di FB.

Contoh pertama, soal hikmah larangan menggunakan emas bagi laki-laki. Rasulullah memang melarang laki-laki untuk menggunakan emas. Abu Hurairah meriwayatkan, “Dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, bahwasannya beliau melarang (kaum lelaki) mengenakan cincin emas.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim] Sebagian saudara kita kemudian ada yang mencoba untuk mengarang justifikasi ilmiah dengan mengatakan bahwa emas yang menempel pada tubuh laki-laki bisa menyebabkan penyakit Alzheimer (baca penjelasannya di sini http://santripos.blogspot.co.uk/2014/01/alasan-ilmiah-mengapa-lelaki-tidak.html). Saya memang tidak memeliki background ilmu kesehatan, tapi ketika membaca artikel tersebut saya yang awam juga bisa menilai: apa sesederhana itu penjelasannya? Dan ternyata memang hoax, teman fb saya Sudarlin Laoddang pernah menulis bantahan tentang hoaxnya artikel tersebut (silakan cek timeline beliau tertanggal 23 Desember 2014) Contoh kedua—yang saya duga kuat juga hoax—adalah hikmah kenapa Rasulullah melarang meniup minuman. Dari Abu Said Al-Khudri: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk meniup ke dalam minuman” [HR. At-Tirmizi no. 1887] Saya pernah melihat di fb sebuah tulisan yang berusaha menjustifikasi hadis tersebut yang katanya sebagai “hikmah ilmiah” dari larangan tersebut. Intinya seperti ini: ketika meniup kita akan mengeluarkan CO2 dan akan bereaksi dengan H2O, maka akan terjadi reaksi kimia H2O + CO2 => H2CO3. H2CO3 disebutkan sebagai asam yang bisa menyebabkan asidosis (suatu keadaan dimana darah terlalu banyak mengandung asam). Saya yang awam kimia juga bertanya: apa sesimpel itu penjelasnnya?

Contoh lainnya yang juga saya duga kuat hoax adalah tentang foto scan panas tubuh orang yang pacaran, untuk menunjukkan terlarangnya pacaran dalam Islam. Melihat pola hasil scan panas tersebut, saya berfikir: apa ya bisa secara persis membentuk pola bagian genital manusia seperti itu?

Memang ada dari ajaran-ajaran Islam yang memang sudah terbukti baik secara ilmiah. Seperti tentang berbagai benefit bagi pria yang memelihara jenggotnya (baca di sini: http://www.dailymail.co.uk/health/article-2280717/Beards-good-From-warding-pollen-slowing-ageing-process.html) Namun sekali lagi, bukan itu yg membuat kita beriman. Jika tidak ada bukti ilmiahnya tidak masalah, kita tetap percaya bahwa pasti ada kebaikan di baliknya. Kalau pun ada, semoga itu bisa menjadi sebab bertambahnya keimanan kita, bahwa maha benar Allah dan Rasulnya.

Dan yang perlu diingat juga: sains itu berkembang. Bisa saja produk sains pada saat ini bercocokan dengan ajaran islam. Namun bisa jadi juga di masa depan kemudia berubah menjadi berseberangan. Bagi saya pribadi sebenarnya mudah saja membedakan apakah kajian ilmiah yang diklaim sebagai hikmah ajaran islam itu benar atau tidak. Cek saja: apakah mencantumkan sumber aslinya atau tidak. Bisa dilihat bahwa mostly dari berita-berita tersebut tidak pernah menyertakan sumber asli yang merilisinya, lebih-lebih jurnal/publikasi ilmiahnya.

Saya tahu niat saudara-saudara kita yang mengarang dan ikutan menyebarkan berita-berita cocokologi tersebut niatnya adalah baik. Hanya saja, jangan lupa dengan prinsip dalam agama kita bahwa niat baik saja tidak cukup. Niat yang baik haruslah pula diiringi dengan cara yang baik. Ibnu Mas’ud pernah berkata: “Betapa banyak orang yang meninginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya (karena caranya yang salah).”.

Semoga Allah menambahkan kita ilmu yang bermanfaat.