Ada kalanya iman itu terasa kuat dalam diri. Badan jadi terasa begitu lincah untuk beribadah. Lisan jadi tak pernah bosan untuk berzikir. Tak perlu alarm untuk bangun beribadah di malam hari. Langkah menuju masjid begitu enteng. Dan mendengar bacaan Al Quran, air mata jadi ingin memburai.

Namun ada juga kalanya iman itu melemah. Seakan gravitasi menjadi berkali lipat ketika mendengar kata ibadah, berat. Lisan jadi jengah untuk berzikir. Berapapun alarm terpasang tak punya daya untuk membangunkan diri di malam hari. Dan untuk mendengar bacaan Al Quran, telinga menjadi enggan.

Begitulah jalannya keimanan. Naik dan turun. Meninggi dan merendah. Tak ada satu pun manusia yang mampu selalu menghadirkan keimanan yang kuat dalam dirinya. Bahkan kata Nabi kepada sahabatnya Hanzholah:

"Sekiranya kalian terus-menerus memiliki keimanan seperti di saat kalian berada di sisiku dan sekiranya kalian selalu berdzikir, niscaya para malaikat akan turun untuk menyalami kalian di atas tempat-tempat tidur kalian dan di jalan-jalan yang kalian lalui. Namun wahai Hanzholah, masing-masing ada saatnya.”

Yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana kiat kita untuk mengusahakan agar keimanan itu terus memuncak, memahami diri sendiri untuk tahu: apa kiranya yang menyebabkan keimanan agar bisa terus terjaga? berkumpul dengan teman-teman yang baik? menghindari kesibukkan yang berlebih? atau apa? sehingga ketika sadar bahwa keimanan sedang menurun, kita bisa mengambil langkah untuk berupaya meningkatkannya kembali.

Dan yang pasti, salah satu upaya yang telah diajarkan Nabi untuk menjaga keimanan itu adalah dengan banyak berdoa:

"Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu. Wahai Dzat yang memalingkan hati, palingkan hatiku kepada ketaatan kepada mu."