Tentang Tanah dan Hujan (2)[1]

Puisi hujan kini tak lagi milik bulan Juni. Puisi hujan kini adalah milik tanah di bulan-bulan terik sepanjang tahun. Deretan aksara yang jadi tempat menuangkan segala rasa rindu milik tanah—rasa basah berkelabat karena rintik-rintik hujan yang mencecah.

Pada mulanya tanah sempat bertanya-tanya: apa manusia yang sebenarnya menjadi sebab hujan terkadang malu menemuinya? Manusia—yang jika hujan datang—sering gusar karena harus mencari tempat bernaung. Bahkan terkadang tega mengumpat dan berdecak kesal.

Tapi cepat tanah tersadar. Bukan. Bukan itu alasannya. Tanah tahu, Hujan terlalu tabah dan bijak untuk hanya merespon kelakar manusia-manusia itu. Ada semesta yang lebih besar yang membutuhkannya. Bukan hanya manusia.

Pada akhirnya, kalimat terakhir hujan sebelum berpisah membuat tanah tahu jawabannya.

“kamu juga butuh matahari, kamu juga butuh terik”, kata hujan waktu itu.

Kini tanah hanya bertanya: benarkah tak ada yang lebih tabah dan bijak dari hujan di bulan Juni?

Barangkali aku”, kata tanah.


[1] Menunggu hujan. 17:43 WIB, 15 September 2014. Cimanggis, Depok.