Sebuah Upaya Meminta Maaf[1]

—Ma’had Al ‘Ilmi
Pada mulanya adalah jumpa. Dan aku tak selalu bisa mengingat bagaimana awal berjumpa dengan setiap orang yang kukenal, hanya sebagiannya saja. Yang sebagian itu kuduga adalah mereka yang ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi orang-orang terdekatku. Seperti Rahadian Faisal.

Kali pertama kami berjumpa—aku ingat betul—adalah di wisma MTI di tahun 2009. Waktu itu Isal sedang dites oleh Mas Bara sebagai syarat untuk masuk ke wisma muslim YPIA. Kami berjabat tangan. Isal menyebutkan namanya. Aku menyebutkan namaku. Dan setelah itu pertemuan kami berikutnya hanyalah pertemuan-pertemuan biasa pada kajian-kajian biasa.

Di 2010 aku dan Isal sama-sama mendaftar Ma’had Al ‘Ilmi. Di kelas pelajaran inilah kami kemudian Allah mentakdirkan kami untuk banyak berinteraksi. Saling mengenal. Mengalami sukaduka bersama sebagai santri.

—Darus Solihin
Pada 2011, aku memutuskan untuk pindah ke Wisma Darus Solihin, tempat dimana Isal sudah mulai tinggal sejak 2009. Menyigi ingatan tentang Darus Solihin, ada satu tempat sesungguhnya di wisma ini yang akan selalu kukenang selain kamarku sendiri, yaitu kamar no. 5 di blok utara—kamarnya Isal. Aku masih mengingat isinya dengan baik. Bagaimana tata letak barang-barangnya. Bagaimana aromanya. Dan sepertinya aku tidak akan pernah memasukinya lagi. Kamar yang dalam banyak hitungan waktu kujadikan tempat untuk bercerita dan bercanda tentang hal yang tak bisa kutuliskan di sini (you know what, sal). Dan tempat aku berkonsultasi tentang segala hal terkait kesehatan.

Ibuku adalah orang yang sangat khawatir tentang aku yang begitu mudah sakit. Dan aku sering berkata kepada ibuku: santai, aku punya teman dokter. Ya, Isal lah yang kumaksud.

—Isal
Ingatan tentang Isal adalah ingatan tentang bersaing untuk tidak membawa motor ketika akan pergi ke masjid atau mencari makan. Bersaing untuk mengucapkan kata cupu dengan suara falseto. Ingatan tentang kecuekkannya—tidak peduli dengan segala tetek-bengek keributan dan keribetan di sekitarnya.

Dan harus jujur kukatakan, bahwa Isal adalah sahabat terbaikku. Jika aku ingin minta tolong apa pun, mencari teman untuk pergi kemana pun, dan ingin ditemani untuk makan apa pun, maka Isal-lah tempatnya. 

Diantara buktinya adalah tulisanku di timeline facebooknya, pada 4:05pm, 5 September 2012:

“sal, kapan Jogja? Ayo foodfez-an, bebek-an, ss-an, dan kajian :D”

Kebersamaan kami selama ini telah mempengaruhi dimana dan siapa kami hari ini.

Aku tahu Isal adalah orang yang tidak terlalu terbuka untuk urusan-urusan pribadinya. Sesuai twitnya tertanggal 3 Apr 2013:

“Saya kagum sama ikhwan2 yang ga keliatan galaunya di dunia nyata ataupun dunia maya terus tiba-tiba ngasih undangan nikah...”

Dan aku rasa kini ia berhasil berhasil menjadi sosok sebagaimana yang ia kagumi sendiri.

—untuk Isal dan Nova
Kini kalian akan menjalani prosesi suci,

Selamat saling bertemu. Selamat saling melepas rindu. Selamat bersatu untuk menghadapi sukaduka kehidupan yang baru. Selamat mengarang cerita kehidupan yang baru. Selamat saling percaya. Dan selamat saling menjaga.

Tak ada doa yang lebih indah yang mampu kuucapkan selain apa yang telah Nabi ajarkan: Barokallahu laka, wa baroka ‘alaika wa jama’a bainakuma fi khoirin.

Mungkin orang bilang aku selalu pintar untuk mendramatisir segala sesuatunya. Bagiku tulisan ini adalah upaya meminta maaf kepada sahabatku, karena tidak bisa hadir di hari spesial di dalam hidupnyamaaf, ada pekerjaan yang belum terselesaikan di sini. Aku tahu pagi ini kalian akan menjalani prosesi suci terlebih dahulu, lalu harus berjabat tangan dengan ratusan kerabat, menerima ratusan ucapan selamat dan hadiah dari teman, dan berbagai kesibukan lainnya hingga petang hari. Semoga permintaan maaf ini tidak tertunda sampainya.

Kita bertetangga adalah takdir. Kita bersahabat adalah takdir. Dan semoga kita kembali bertetangga dan bersahabat dengan Rasulullah di surga juga adalah takdir. Amin.


[1] 06: 30 WIB, Kayu Manis, Beringin Indah, Pekanbaru.