Sempurna[1]

Haruskah semua begitu sempurna?

Sepasang cincin harga delapan digit melingkar di masing-masing satu jari manis kita. Sebuah prosesi seserahan segala ada, sebuah pesta besar sehari semalam penuh canda tawa. Didramatisir dengan doa-doa dan jabat tangan ribuan kerabat, ratusan kado, tangis haru bahagia keluarga.

Aku merenung sendiri.

Haruskah semua begitu sempurna? Sementara apa yang kucinta darimu adalah ketidaksempurnaanmu.

Haruskah semua begitu sempurna? Sementara kita tak pernah tahu apakah kesempurnaan selalu mengantar kita pada kebahagiaan.

Tidakkah mestinya segalanya sederhana saja: sesederhana dirimu, sesederhana cinta itu sendiri. Karena bahkan senyum yang kau hadirkan setiap hari sudah terlalu mewah untuk diperbandingkan dengan segala yang ada di bumi—yang bisa maupun yang tak bisa kita beli. Karena bahkan tatapan yang kau hadirkan lebih meneduhkan dari rumah mewah tipe apapun—dengan harga semahal apapun.

Jadi, haruskah semua begitu sempurna?


[1] Potongan tulisan Azhar Nurun Ala dalam bukunya “Jatuh” yang mewakili pikiran saya saat ini—setelah hadir dalam pesta pernikahan seorang teman.