Kalah, Lelah, Tak
Menyerah[1]
Kami pernah kalah, kami pernah lelah, tapi kami tak
pernah menyerah.
Kami pernah kalah—
Kami tak akan pernah lupa rasanya:
getirnya kecapan buah kekalahan yang lahir dari bibit “perjuangan keras”, yang
telah disemai jauh sejak lama. Hangatnya
rasa bulir-bulir air mata di pipi yang lahir atas sebuah kekecewaan. Tak
berdayanya diri menahan bahu berguncang karena tangisan kegagalan—kami ingat.
Kami pernah lelah—
Kami tahu betul rasanya lelah: mengerahkan
segala usaha tanpa ada titik terang dimana kerja keras itu akan berakhir.
Merasakan keadaan yang seperti tak ada sedikit pun asa. Bagaimana ngerinya meniti
jalan terjal, curam, dan berliku tajam sendirian. Bermandi peluh. Berlegam
kulit karena hari—kami tahu.
Tapi kami tak pernah menyerah—
Pada keadaan. Pada waktu. Pada mereka
yang membisikkan atau meneriakkan pesimisme dan skeptisme. Pada jalan terjal.
Pada titian curam. Pada liku yang tajam—kami tak akan pernah menyerah.
Kami tak akan limbung dengan
kekalahan, dan tak akan rapuh hanya dengan kelelahan.
Karena kami percaya: asa apa pun,
selalu butuh perjuangan dan pengorbanan. Dan selalu ada Allah tempat meminta
pertolongan.
“Bersemangatlah atas apa yang
bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan pada Allah. Dan jangan kamu merasa
lemah” (HR Muslim)
[1] 06:10
WIB, 19 Januari 2014. Pare, Kediri, Jatim.
COMMENTS