Pergi[1]
Jujur saja: kenapa kamu tak kunjung pergi?

Kemarin kamu bilang suratnya belum tiba. Kemarinnya lagi kamu bilang keretanya belum ada. Dan sekarang kamu bilang, dengan mudahnya, “nanti, kalau tidak hujan”.

Di balkon itu kemarin kulihat kamu menggenggam surat yang selama ini kamu nanti. Dan di balkon itu juga kemarin kulihat kamu melengak ke langit sambil berkata ”hujan, aku tidak jadi pergi"

Sekarang aku tahu, bukan surat itu sebenarnya yang selama ini kamu nanti. Bukan keretanya yang belum tiba. Dan bukan hujan deras yang menghalangimu.

Tapi ada yang telah hampir menahun menahanmu di sini. Yang membuat dirimu selalu ragu ingin pergi, dan membisiki agar tetap saja di sini.Yang itu selalu coba kamu rangkai dalam bait-baitmu dengan metafora, tanpa pernah berani jujur.

Kejujuran. Kejujuranlah sebenarnya yang kamu nanti. Kejujuranlah yang akan membukakan pintu untukmu, mengantarmu ke stasiun, lalu mendadahimu.

Kejujuranlah yang akan membuatmu tak lagi memiliki satu kata pun untuk bermetafora dalam bait-baitmu dan melepaskanmu dari segala yang menahanmu pergi.

Dan kejujuran pula yang akan membuatmu dengan leluasa berkata,“aku pergi, tunggu aku kembali”.

Maka kini kutanya: kapan kamu mau jujur?


[1] 16: 43 WIB, 06 Desember 2013. Darus Solihin, Pogung Dalangan, YK.