Riset Kita, Harapan Mereka[1]

Dalam beberapa bulan terakhir, saya ikut dalam sebuah proyek riset “kecil-kecilan” tentang izin gangguan di Kabupaten Sleman. Tujuan utama dari riset tersebut adalah bisa memberikan usulan mekanisme perizinan gangguan yang sesuai dengan berbagai aturan terkait, sesuai dengan teori terkait, dan sesuai dengan konteks Kabupaten Sleman. Diantara hal yang baru saya ketahui dalam proses riset tersebut adalah bahwa (sebagian) para birokrat baru menyadari betapa pentingnya sebuah tatanan birokrasi berlandaskan riset.

”Harusnya memang dari dulu kita melakukan kajian seperti ini”, salah seorang pejabat menuturkan secara langsung kepada saya.

Beliau lalu memberi contoh beberapa kasus yang menunjukkan betapa pentingnya riset dalam sebuah tatanan birokrasi. Salah satunya adalah dalam penetapan standar-standar atau ambang batas tertentu. Misal ambang batas yang diwajibkan mengajukan izin ulang adalah 30%. Sebagian masyarakat yang kritis ketika mendapat angka 30% tersebut akan bertanya: kenapa demikian? Apa dasar penetapannya? Dalam beberapa kasus, para birokrat justru kesulitan untuk menjawabnya.

Genarally speaking, tentu inilah salah satu peyebab jeleknya tatanan birokrasi kita di Indonesia, yang berbuntut ke banyak hal. Kesadaran mereka yang terlibat dalam dunia birokrasi untuk melandasi setiap kebijakan yang mereka terbitkan dengan riset, masih rendah. Saya ingat, dulu di awal-awal terpilih sebagai presiden Amerika, Obama menggunakan jasa sebuah konsultan riset internasional, Global Hay Group, untuk merumuskan bagaimana kabinet yang efisien. Selama rentang waktu tertentu Global Hay Group melakukan penelitian di Gedung Putih untuk akhirnya memberikan rekomendaasi kepada Obama. Lihat betapa mereka sadar untuk melandasi satu diantara urusan birokrasi mereka dengan riset. Di Indonesia? Ada SBY mendahului perumusan kabinet Indonesia Bersatu dengan riset? Saya belum pernah mendengar.

Saya lalu juga teringat pada penelitian skripsi saya, tentang bagaimana London berupaya meningkatankan resiliensi mereka –salah satunya dalam rangka persiapan menghadapi Mega Event Olimpiade 2012. Pengarusutamaan riset-riset terkait Urban Resilience sangat terasa sekali, bagi saya yang mengamati. Universitas-universitas terkemuka di UK yang saya ketahui, hampir seluruhnya memiliki agenda riset “Urban Resilience” atau “Resilient City”, sejak beberapa tahun sebelum Olimpiade 2012. Dan yang menarik adalah bagaimana para peneliti di sana bisa berkolaborasi dengan baik dalam sebuah riset. Untuk agenda riset Urban Resilience biasanya yang terlibat dari Geografi/Urban Planning, Ekologi, Urban Studies, dan Ekonomi.

Kembali ke masalah riset dan birokrasi ke Indonesia, sebenarnya –tentu– kesalahan tidak semata pada mereka yang terlibat dalam sistem birokrasi. Saya tidak tahu sudah sejak berapa lama aturan pewajiban adanya naskah kajian akademis untuk penerbitan perda sudah diterbitkan. Namun yang pasti, sudah ada upaya berarti dari pemerintah untuk melandasi setiap kebijakan yang diterbitkan dengan riset, yaitu dengan mewjibkan adanya kajian akademik yang mendahuluinya. Namun celakanya, di sisi lain, tak jarang ditemui permasalahan kualitas riset dan permasalahan pada “niat” dari peneliti ketika melakukan penelitian. Sebagaimana kata Pak Sani (salah seorang peneliti yang banyak menginspirasi saya), selama ini riset yang diharapkan bisa “problem solving” tak jarang nyatanya ditemui masih sangat rendah kualitasnya, baik substansi  atau pun metodologi. Belum lagi jika berbicara sebagian peneliti yang hanya berorientasi “publikasi” dengan penelitiannya, yang memarjinalkan aspek “problem solving”. Maka jelas, kesalahan tak murni pada para birokrat saja.

Masalah akan semakin besar apabila kita mau melihat bagaimana instrumen riset nasional kita. Pertama, jika kita berbicara dari sisi jumlah peneliti. Dari sebuah artikel yang pernah saya baca (di sini), saat ini jumlah peneliti yang terdaftar di LIPI dan perguruan tinggi di Indonesia hanya sekitar 16 ribu. Padahal dengan wilayah dan penduduk sebesar sekarang, idealnya Indonesia membutuhkan sekitar 200 ribu peneliti. Sebuah angka yang sangat timpang. Jika direratakan jumlah peneliti di Indonesia sekitar 100 per sejuta penduduk. Sementara, di negara lain jumlah peneliti yang paling kecil 2000 per sejuta penduduk. Bahkan Jepang sudah mencapai 6000 per sejuta penduduk.

Kedua, dana riset dari pemerintah yang sangat kecil, yaitu hanya dianggarkan 0,15 persen dari produk domestik bruto atau PDB (data 2011). Dan celakanya, dana riset yang kecil tersebut tidak dimanfaatkan secara efisien. Dana yang terbatas tersebut tidak kemudian disiasati dengan koordinasi antar lembaga riset, sehingga tidak perlu ada pengulangan riset yang sama.

Yah begitulah kondisinya. Kembali lagi ke Sleman J

Lalu apa yang bisa dilakukan? Kalau saya pribadi, memilih untuk memperbaiki dari yang terkecil yang saya bisa. Perbaiki dulu kualitas riset kita masing-masing, baik kita memegang kendali penuh atas riset tersebut, atau hanya terlibat dalam bagian kecilnya saja. Tetap berusaha.

Niat “problem solving” juga perlu disematkan pada setiap orang yang memilih untuk melakukan penelitian. Bukan semata-mata sebagai syarat kelulusan. Atau semata-mata mencari penghidupan.

Dan kalau memang tidak ada instrumen yang bisa mengakomodasi hasil riset kita untuk “problem solving”, kenapa tidak kita saja yang memilih untuk aktif menawarkannya?

---Wallahua’lam. Just a humble opinion dari seseorang yang mulai mengetuk pintu “dunia riset”, dan belum memasukinya secara real. J


[1]   Hujan Siang Jogja, 13: 29 WIB, 05 November 2013, Darus Solihin, Pogung Dalangan, YK. Judul ini sama persis dengan judul tulisan salah satu peneliti yang saya kagumi (di sini). Saya buat sama karena kalimat tersebutlah yang pertama kali terbesit ketika ingin menjuduli tulisan yang saya buat ini.