Diri yang
Dulu[1]
Mungkin kamu perlu prosesi berkenalan ulang
dengan dirimu yang dulu. Jabat tangannya, katakan: “aku dirimu yang sekarang”.
Lalu berikan waktu padanya untuk menjelaskan tentang dirinya.
Ajak dia minum kopi sejenak di kedai kopi
yang kalian sama-sama sukai itu. Pesankan kopi untuknya. Tapi sebelumnya tanyakan
dulu: kopi yang mana?. Tampaknya selera kopi kalian berdua (kini) berbeda.
Karena katanya, tiap-tiap kopi itu ada filosofinya yang sesuai dengan karakter diri
peminumnya. Dan karakter diri kalian berdua (kini) tampaknya berbeda.
Sambil kalian menikmati kopi yang disajikan
dalam cangkir keramik berlukis itu, coba tanyai dengan luwes:
“Bagaimana engkau bisa mendapat niat, tekad,
dan semangat yang seperti itu, wahai diriku yang dulu?”
Lalu berikan waktu padanya untuk bercerita
semaunya. Dengarkan saja. Yakin, jawabannya akan memakan waktu lama. Sama lama
dengan waktu yang kalian berdua butuhkan untuk menandaskan secangkir kopi itu.
Pesankan lagi kopi untuknya, untuk menemaninya
menjawab pertanyaanmu berikutnya. Atau, bukan pertanyaan tepatnya, tapi
pernyataaan. Bagaimana ekspresinya kalau kamu bilang:
“Semestinya kamu dulu tidak perlu memutuskan
begitu.”
Berikan lagi waktu untuknya untuk menanggapi.
Resapi setiap kata yang keluar dari mulutnya. Setiap logika yang menjadi alasan
baginya terkait keputusan itu.
Kalau kopinya tandas lagi, pesankan lagi. Tak
peduli berapa cangkir kopi yang harus kamu pesankan untuknya. Semata agar kamu
bisa mengenalinya lagi dengan baik. Dan agar kamu tak sering berkata-kata lagi:
Telah jauh kuberjalan, dimana diriku yang
dulu?
[1] Bersama
secangkir kopi, 13: 53 WIB. 02 November 2013. Yogyakarta.
COMMENTS