Salafy,
Surfing The Wave of Change[1]
Kekhwatiran Thomas L. Friedman di dalam bukunya
Hot, Flat, and Crowded tentang Salafy adalah kekhawatiran yang sebenarnya klasik.
Banyak orang memang, ketika dikenalkan Salafy sebagai sebuah metodologi di
dalam beragama, akan berkomentar yang sama dengan Friedman: bagaimana kita bisa
menghadapi arus perkembangan zaman dengan metode beragama seperti itu? Sedankan
kekinian gelombang perubahan pada peradaban manusia semakin besar. Peradaban manusia
semakin cepat untuk berkembang. Apakah Salafy sebagai sebuah metodologi di
dalam beragama masih relevan?
Untuk membuktikan tidak tepatnya kekhwatiran
itu, saya tidak akan mendeduksi bagaimana sebenarnya konsep yang ditawarkan
oleh Salafy di dalam menghadapi perkembangan zaman. Butuh tulisan panjang untuk
itu. Saya hanya akan mengajak anda –pembaca– untuk berfikir induktif. Mari kita
melihat bagaimana praktik Salafy pada tataran komunitas dan individu.
Apakah
kekhawatiran itu benar?
Pada tataran komunitas, coba lihat secara
kolektif bagaimana komunitas Salafy dalam memanjamen dakwah mereka di Indonesia,
lalu bandingkan dengan komunitas dakwah lainnya yang berbeda metodologinya
(manhaj) dengan Salafy. Siapa yang lebih mutakhir manajemen dakwahnya? Terkhusus
dalam penggunaan media TIK. Coba bandingkan saja dengan salah satu komunitas
dakwah yang katanya “asli dari tanah Jawa”. Ketika Salafy telah lama memiliki
radio-radio dan TV-TV yang digunakan sebagai sarana dakwah, komunitas Islam “asli
dari tanah Jawa” tersebut baru dalam hitungan bulan mengikuti memilikinya –secara
terang-terangan mereka menyebut bahwa pembuatan yang semisal dalam rangka
menyaingi komunitas Salafy.
Atau, jika kekhwatiran itu benar, bagaimana
bisa Salafy membuat banyak aplikasi Android (semisal Radio Dakwah Islam), iOS,
blackberry dst? Bukankah Anroid, iOS, dan blackberry itu adalah definisi
termutakhir dari perkembangan teknologi komunikasi peradaban manusia?
Atau coba lihat juga daftar website-website Islam terbanyak
dikunjungi di Indonesia. Yang mendominasi adalah website-website yang dikelola
oleh komunitas Salafy. Lalu apa bisa dibilang tidak bisa mengikuti perkembangan
zaman?
Belum lagi jika bicara pada tataran individu.
Terlalu banyak orang-orang hebat di bidang teknologi kekinian yang saya kenal
yang berasal dari komunitas Salafy. Yang ikut kompetisi robot nasional? Ada.
Yang menghasilkan uang ratusan juta dari membuat aplikasi iOS? Ada. Yang
tergolong sebagai peretas handal? Ada.
Pepatah “tak kenal maka tak sayang” memang
selalu ada benarnya. Kekhawatiran klasik di atas sebenarnya hanya lahir karena alpanya
pemahaman tentang Salafy secara komprehensif. Jelas bahwa yang diajak oleh
Salafy untuk dikembalikan ke zaman Nabi dan Para Sahabatnya hanyalah metodologi
dalam beragama, bukan dalam urusan-urusan keduniawian. Kalau pemahaman
komprehensif itu telah ada, tak akan ada ejekan: “sudah! Naik onta saja sana
kamu naik haji!”.
[1] 21: 37
WIB, 31 Oktober 2013. Darus Solihin, Pogung Dalanga, YK.
COMMENTS