Lebih Baik dari Permainan dan Perdagangan[1]

Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah di atas mimbarnya dalam keadaan berdiri. Dalam kondisi yang demikian, tiba-tiba datanglah kafilah dagang Dihyah bin Khalifah yang berasal dari negeri Syam. Kafilah tersebut membawa barang-barang dagangan berupa minyak zaitun[2], tepung, gandum, dll[3].

Sebuah tradisi ketika itu, apabila kafilah dagang dari luar kota ada yang tiba, maka akan ada yang menabuh gendang dalam rangka memberitahukan kepada khalayak tentang ketibaan mereka. Maka tatkala melihat datangnya kafilah dan mendengar adanya tetabuhan gendang, para sahabat yang sedang mendengarkan khutbah Nabi sertamerta berhamburan menuju kafilah dagang tersebut untuk melakukan transaksi jual-beli bahan makanan, karena kota Madinah sedang mengalami musim paceklik dan banyak yang menderita kelaparan.

Ketika para Sahabat berhamburan untuk melakukan transaksi jual-beli tersebut, Nabi masih dalam keadaan berdiri di atas mimbarnya untuk menyampaikan khutbah. Tidak tersisa di dalam masjid kecuali sekitar 12 orang sahabat saja.

Dalam episode sejarah inilah Allah menurunkan surat Al Jumu’ah ayat 11:

“Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan mereka berhamburan untuk menuju kepadanya. Dan mereka meninggalkan kamu dalam keadaan berdiri. Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki.”

Imam Qurthubi di dalam tafsirnya membawakan sebuah hadits mursal yang diriwayatkan oleh Asad bin ‘Amr, bahwa 12 orang yang tersisa tersebut adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, az-Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu ‘Ubaidah ibn al-Jarrah, Sa’id bin Zaid, dan Bilal. Dalam riwayat lain disebutkan ada pula ‘Abdullah bin Mas’ud, dan riwayat lainnya menyebutkan ada pula ‘Ammar bin Yasir. Di dalam sahih Muslim hanya disebutkan secara pasti tiga diantara 12 sahabat tersebut, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khottob, dan Jabir bin ‘Abdillah. [4]

Catatan:
Kisah ini bukanlah alasan untuk membolehkan mencela para sahabat dan mengatakan mereka adalah orang yang durhaka kepada Rasulullah. Ada banyak pemakluman yang dijelaskan oleh para Ulama tentang kisah ini, di antaranya:
1.    Kisah ini terjadi di awal-awal keislaman sebagian sahabat, sehingga iman belum mantap di hati-hati mereka.
2.    Menurut sebagian Ulama, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dan Al Qurthubi dalam tafsirnya, tata cara solat Jum’at di awal-awal pensyariatannya sama dengan solat ‘Ied, yaitu dengan mendahulukan solat dua rakaat baru kemudian dilaksanakan khutbah. Dengan tatacara yang demikian, ketika ada kafilah dagang yang datang –dan madinah sedang dalam masa paceklik dan kelaparan– para sahabat menilai sikap yang mereka ambil sah-sah saja. Ditambah belum adanya larangan ketika itu. Tatkala telah diturunkan surat Al Jumu’ah ayat 11 tersebut tidak pernah didapati para sahabat melakukan hal yang sama.

Baca penjelasan pemakluman lengkapnya disini.


[1] 13:09 WIB, 02 Oktober  2013. Darut Tauhid, Pogung Kidul, YK.
[2] Disebutkan dalam tafsir Al Thobari
[3] Disebutkan dalam tafsir Al Qurthubi
[4] Penjelasan lengkap kisah ini bisa dirujuk di kitab-kitab tafsir surat Al Jumu’ah ayat 11. Atau penjelasan hadis Muslim No. 863.