Resiliensi Ekonomi
Kreatif[1]
Tantangan dan Dampak
Bencana Alam dalam Perspektif Ekonomi
Berdasarkan data yang
dirilis oleh UNISDR (2004), frekuensi bencana alam dalam tiga dekade terakhir
mengalami peningkatan yang sangat signifikan, yaitu meningkat sebesar tiga kali
lipat. Salah satu penjelasan yang tak tertolak tentang penyebab meningkatnya
frekuensi bencana alam tersebut adalah karena adanya fenomena perubahan iklim.
Dengan adanya perubahan iklim, frekuensi, keparahan, dan intensitas bencana
alam cenderung meningkat signifikan dari waktu ke waktu (Djalante & Frank,
2010). Berbagai dampak turunan dengan adanya perubahan iklim hadir dalam bentuk
bencana, seperti kenaikan permukaan air laut, banjir rob, kelangkaan air, heat
stress, peningkatan wabah penyakit, perubahan curah hujan, perubahan pola
kemarau, perubahan kecepatan angin, serta peningkatan frekuensi dan intensitas extreme
events.
Dampak dari berbagai
bencana alam, baik yang timbul karena adanya perubahan iklim atau pun tidak,
tidak hanya terasa pada secara fisik semata, akan tetapi lebih kompleks karena
juga berdampak secara sosial, lingkungan, dan ekonomi, baik itu di negara maju
atau pun di negara berkembang.
Secara ekonomi, dari
tahun 1950 hingga 1990 kerugian yang diderita akibat bencana meningkat hingga 14 kali lipat. Selama
periode 1990 jika dirata-ratakan kerugian akibat bencana per tahun mencapai 54
Milyar US $ (standar harga 1999). Pada tahun 1995 saja kerugian akibat bencana
mencapai 198 Milyar US $ yang setara dengan 0,7 % gross domestic product (GDP) dunia pada waktu
itu (Munich Re, 1999 dalam Benson dan Clay, 2003).
Di saat dunia telah
terlepas dari jerat bencana peperangan pasca perang dunia kedua dan di saat
dunia sedang berperang melawan kemiskinan, bencana alam hadir sebagai
tantangan baru bagi sektor perekonomian
dari tingkat lokal hingga global.
Resiliensi Sektor Ekonomi
terhadap Bencana Alam
Sebagai respon atas
meningkatnya frekuensi bencana yang diiringi dengan meningkatnya dampak
kerugian terhadap sektor perekonomian, para ahli mulai memikirkan solusi atas
problematika tersebut. Di antara solusi yang kemudian muncul adalah dengan
lahirnya konsep resiliensi ekonomi yang banyak di bahas pada satu dekade
terakhir.
Secara bahasa, resiliensi bermakna kemampuan melenting lalu kembali seperti semula (seperti bola
yang ditekan) (Hr, 2012). Konsep resiliensi untuk pertama kali digunakan dalam
disiplin ilmu psikologi dan ekologi. Dalam psikologi, resiliensi digunakan
untuk menjelaskan kemampuan seseorang, kelompok, atau masyarakat untuk
menghadapi, mencegah, meminimalkan atau menghilangkan dampak-dampak yang
merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan bagi dirinya (Astari,
2010 dalam Hr, 2012). Dalam ekologi konsep resilien digunakan pertama kali oleh
Holling (1973), yaitu sebagai:
“a measure of
the persistence of systems and of their ability to absorb change and
disturbance and still maintain the same relationships between populations or
state variables” (Holling, 1973 dalam Gopalakrishnan & Peeta 2010: 84)
Adapun pada ekonomi, menurut Rose dan Oladosu (undated)
resiliensi merupakan konsep yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana performa
perekonomian tidak mengalami kemunduran ketika mendapat gangguan dan bagaimana
ekonomi bisa pulih kembali secara cepat pasca mendapatkan gangguan. Salah satu
gangguan ekonomi yang menjadi tantangan utama bagi sektor perekonomian dalam
beberapa dekade adalah bencana alam. Oleh karena itulah, menurut Dawley dkk
(2010), di amerika salah satu pemicu maraknya pembahasan mengenai resiliensi
pada sektor perekonomian adalah makin maraknya bencana alam di Amerika, semisal
Badai Katrina.
Rose dan Oladosu (undated) memandang resiliensi
pada ekonomi dari dua sisi. Sisi pertama, resiliensi bisa dipandang sebagai
resiliensi yang inherent (melekat pada sebuah sistem), yaitu kemampuan
normal yang dimiliki oleh sebuah sistem selama masa krisis untuk
mengambul/melenting dalam menghadapi kerusakan atau pun kerugian. Contoh bentuk
resiliensi inherent ini adalah dengan melakukan substitusi input
produksi, re-alokasi pasar, dll. Sisi kedua, resiliensi juga bisa dipandang
sebagai adaptasi, yaitu sebuah “kecerdikan” untuk menyesuaikan diri selama
krisis. Menurut Dawley dkk (2010) terdapat dua pemikiran utama
di dalam resiliensi ekonomi, yaitu tentang resistensi (resistance) dalam
menghadapi gangguan dan tentang kemampuan untuk kembali (bouncing back)
pasca mendapat tekanan. Kedua pemikiran tersebut memiliki keterkaitan, semakin resistance
sebuah sistem perekonomian maka akan semakin cepat pulih sistem tersebut
setelah mendapatkan gangguan.
Ekonomi Kreatif:
Gelombang Ekonomi Keempat yang Muncul di Era Bencana
Sebagaimana diketahui, ekonomi saat ini mengarah pada
gelombang ekonomi baru yang berbasis pengetahuan dan kreatifitas yang disebut
juga era ekonomi gelombang keempat. Sebelumnya telah terdapat tiga gelombang
ekonomi yang mendominasi dunia, yaitu gelombang ekonomi pertanian, ekonomi
industri, dan ekonomi informasi. Keberhasilan ekonomi sekarang sangat
ditentukan seberapa banyak pengetahuan-pengetahuan baru dihasilkan. Dengan
demikian, peran para pekerja pengetahuan yang berketerampilan tinggi (highly
skilled knowledge workers) mempunyai peran penting, dengan kreatifitas
dapat menghasilkan inovasi-inovasi berupa kekayaan-kekayaan intelektual yang
mempunyai nilai cipta (copyright).[2]
Mereka yang bergerak di dalam ekonomi kreatif disebut
sebagai creative class. Florida (2005) menyebut creative class sebagai
pekerja yang mampu membuat hasil karya baru yang penuh arti yang mana fungsi
ekonomi mereka adalah dengan menghasilkan ide-ide baru, teknologi baru, atau
konten kreatif. Departemen Perdagangan Republik Indonesia telah menetapkan
bahwa creative class adalah mereka yang bergerak dalam 14 subsektor,
yaitu subsektor periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain,
fesyen, video, film dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan,
penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan
radio, serta riset dan pengembangan.
Gelombang ekonomi
kreatif muncul di era di mana frekuensi bencana terus meningkat. Dengan
demikian, eksistensi dari ekonomi kreatif sangat bergantung pada resiliensi
yang dimiliki. Jika resiliensi yang dimiliki ternyata rendah, maka hipotesis
sebagian ekonom yang mengatakan bahwa ekonomi kreatif merupakan gelombang
ekonomi yang lebih berkelanjutan dan lebih solutif dibanding gelombang ekonomi
lainnya akan tertolak.
Peluang Penelitian
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka terdapat sebuah pertanyaan yang sangat menarik untuk
dijawab melalui sebuah penelitian: Bagaimana/seberapa resiliensi
ekonomi kreatif ketika terjadi bencana
alam?
Referensi
Benson, Charlotte dan
Clay, Edward. 2003. Disasters, Vulnerability, and the Global Economy. Dalam
buku Alcira Kreimer, Margaret Arnold, dan Anne Carlin (eds.),
Building Safer Cities: The Future of Disaster Risk. World Bank,
Washington DC.
Dawley, Stuart, Andy
Pike & John Tomaney. 2010. Towards the Resilient Region?. Local Economy,
2010, 25: 650. Diunduh dari: http://lec.sagepub.com/content/25/8/650
pada 13 Desember 2011.
Djalante, Riyanti dan
Frank Thomalla. 2010. Community Resilience To Natural Hazards And Climate
Change Impacts: A Review Of Definitions And Operational Frameworks. 5th
Annual International Workshop & Expo on Sumatra Tsunami Disaster &
Recovery 2010. Diunduh dari : - pada tanggal 26 November 2011.
Florida, Richard. 2005.
Cities and The Creative Class. New York. Routledge.
Gopalakrishnan,
Kasthurirangan & Peeta, Srinivas. 2010. Sustainable and Resilient
Critical Infrastructure Systems. Dordrecht, The Netherlands, Springer
Hr, Muhammad Rezki.
2012. Konsep, Prinsip, DAN Strategi Mewujudkan London Resilient City. Skripsi
tidak diterbitkan, Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Wilayah, Fakultas Teknik,
Univeristas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Rose, Adam dan Oladosu,
Gbadebo. Undated. Re-evaluating Economic Resilience of Businesses &
Households after Katrina. Diunduh dari: http://create.usc.edu/assets/pdf/51950
pada 20 Januari 2013.
United Nations
Inter-Agency Secretariat of the International Strategy for Disaster Reduction
(UNISDR). 2004. Living with Risk: A global review of disaster reduction
initiatives. United Nations Publication, Geneva, Switzerland.
[1] 13: 10 WIB, 25 September 2013. Studio
Perencanaan Wilayah dan Kota, Kampus Jurusan Arsitektur dan Perencanaan.
Tulisan ini adalah ringkasan dari proposal penelitian yang pernah saya susun
untuk diajukan ke UNDP. Unfortunately, waktu itu tidak diterima. Sengaja saya
pos diblog, barangkali ada yang sedang mencari ide penelitian. Saya sangat
senang apabila ide saya ini ada yang menjalankan.
[2]
Dikutip dari http://ramakertamukti.wordpress.com/2010/04/05/jogja-kota-kreatif/
pada 25 Februari 2012.
COMMENTS