Aku diam. Beberapa detik pertama aku mencoba menyigi ingatanku dan bertanya-tanya: apa aku yang lupa bahwa orang ini pernah berkomentar di blogku. Tapi bebeberapa detik berikutnya aku memutuskan untuk berekspresi diam-keheranan saja, berharap ia mau memberi penjelasan tambahan.

“Kamu kan yang bilang kalau jawaban itu gak harus lewat lisan atau tulisan. Diam itu juga jawaban, kan?

Mataku hampir terbelalak, badanku separuh terperanjat karena kaget ternyata benar dia mengikuti blogku. Tapi lebih dari kaget sebenarnya, aku juga malu: bagaimana bisa aku dibuat terkesan lupa dengan dengan apa yang pernah kutulis sendiri?

“Iya.” Jawabku ketir. Aku memilih untuk tidak aktif dan mendominasi lagi dalam percakapan ini. Aku merasa kalah dengan perkataannya tadi. Posisiku sudah lemah.

“Trus, kamu percaya menulis itu bisa merapikan kenangan?” kembali dia bertanya. Dan pertanyaan ini pun sarat makna. Aku tahu pertanyaannya bukan pertanyaan konfirmasi, tapi semacam statement konfrontasi.

“Percaya. Ada yang salah?”

“Trus kenanganmu yang sudah rapi itu untuk apa?”

“Untuk jadi bekal perjalanan, untuk menapaki masa depan.” jawabku penuh kehatian-hatian.

Dia terkekeh.

“Masalah?” Kutambahi kernyitan sambil aku melontarkan pertanyaan itu, berharap itu bisa semakin mendesaknya untuk segera menjelaskan maksudnya.

“Aku pribadi, menganggap kenangan itu hanya milik mereka yang tak percaya bahwa di depan sana akan ada hal yang lebih indah. Orang-orang seperti itu merasa sayang melepaskan kenangan, mereka tak yakin bisa mengulangi keindahan yang sama lagi. Sedang aku percaya, di depan sana akan ada yang lebih indah. Makanya, orang seperti aku gak perlu repot-repot merapikan kenangan, kayak kamu.”

Ia langsung menghujam pandangan tajam kepadaku. Aku tau maksudnya. Mengharap aku mengkritik jawabannya itu. [1]



[1] Kutipan dari Merapikan Kenangan (2)