Enam Dimensi Modal[1]

Apa yang menyebabkan suatu daerah bisa lebih maju jika dibandingkan daerah lainnya?

Salah satu jawaban yang sangat memuaskan untuk pertanyaan tersebut adalah karena faktor keberadaan modal. Dalam ranah ilmu pengembangan wilayah, pemahaman terhadap konsep modal kota/wilayah semakin berkembang. Jika dalam awal kemunculannya konsep modal hanya dikenal dalam dua dimensi (yaitu modal finansial dan material), belakangan definisi modal semakin berkembang. Minimal ada enam dimensi modal yang sudah berhasil saya fahami: finansial, material, kultural, natural, sosial, dan insani. Berikut ilustrasi singkat yang bisa menjelaskan masing-masing dimensi modal tersebut dan keterkaitannya, dalam konteks individu:

Ada seorang pemuda pengangguran yang ingin memiliki usaha namun tidak memiliki modal usaha. Pemuda tersebut tinggal di lingkungan para tukang bakso dan memiliki hubungan sosial yang baik dengan mereka. Dalam perspektif ini, meskipun tidak memiliki modal finansial berupa uang, namun pemuda tersebut memiliki modal sosial yang bisa ia manfaatkan untuk mendapatkan modal finansial, modal insani, dan modal material. Definisi mendasar dari modal sosial adalah rasa saling percaya di dalam sebuah masyarakat. Karena para tukang bakso kenal baik dan percaya dengan sang pemuda, mereka pun tidak berkeberatan jika seandainya sang pemuda ini ingin belajar pada mereka tentang cara membuat bakso. Hasil belajar tentang cara membuat bakso tersebutlah yang disebut dengan modal insani. Dengan demikian, sang pemuda mampu mendapatkan modal insani dengan memanfaatkan modal sosial yang ia miliki.

Pada tahapan selanjutnya, juga hanya berdasarkan rasa saling percaya, ketika sang pemuda ingin meminjam uang untuk memulai usaha warung bakso, ia bisa saja meminjam uang kepada para kenalannya –baik para tukang bakso tadi atau yang lainnya– untuk dijadikan modal usaha. Uang hasil pinjaman ini disebut sebagai modal finansial. Uang tersebut kemudian dapat digunakan oleh sang pemuda untuk membeli berbagai peralatan membuat bakso. Berbagai peralatan inilah yang disebut sebagai modal material. Secara ringkas, sudah ada empat modal yang dimiliki oleh sang pemuda dalam ilustrasi ini.

Penjelasan untuk modal kultural dan natural dalam ilustrasi ini akan jelas apabila dibawakan dalam konteks persaingan ketika sang pemuda sudah memulai usahanya. Karena sang pemuda berasal dari suku Jawa, maka usaha bakso sang pemuda akan lebih unggul jika dibandingkan dengan usaha bakso lainnya yang dimiliki oleh seseorang yang  non-suku-jawa. Jelas bahwa bakso merupakan produk asli orang Jawa sehingga akan lebih unggul jika dibandingkan bakso buatan orang non-Jawa. Hal inilah yang disebut dengan modal budaya. Adapun untuk modal natural, misalkan sang pemuda hidup di daerah yang sumber daya airnya melimpah. Sedangkan ada tukang bakso lain yang tinggal di daerah yang sumber daya airnya langka. Padahal air dibutuhkan dalam jumlah besar dalam pembuatan bakso. Dalam perspektif ini, sang pemuda memiliki modal natural yang lebih unggul dari pada tukang bakso di daerah lain tersebut.

Itulah ilustrasi enam dimensi modal dalam tataran individu. Penjelasan yang sama bisa pula dikontekstualisasikan dalam tataran kota/wilayah.

Ilustrasi tersebut sekalian bisa menjawab pertanyaanku beberapa tahun yang lalu: Kenapa ya Jogja –dalam beberapa aspek– bisa lebih maju dari Pekanbaru? Padahal notabene APBD Pekanbaru jauh lebih besar dibandingkan Jogja.  Ringkasnya, modal yang mempengaruhi keberhasilan pembangunan suatu kota/wilayah tidak hanya modal finansial, tapi ada modal-modal lainnya.




[1] Gate A6, Terminal 1A, Soekarno-Hatta International Airport. Beberapa menit sebelum Boarding Ke Yogyakarta. 14:00 WIB. 11 Agustus 2013