Dunia Tanpa Biola[1]

Biolamu itu bukan tak berdawai. Kamu hanya candu dengan dunia tanpa biola. Makanya, ia tak lagi bersuara.

Dulu kamu ragu mau mencecah rasa dunia tanpa biola. Kamu takut kalau-kalau duniamu tak lagi merdu dan syahdu. Kamu dekap biolamu erat-erat sebelum kamu memumikannya. Lalu kamu beringsut berpindah ke duniamu yang baru itu.

Lama. Lama kamu baru sadari bahwa dunia tanpa biola itu jauh lebih merdu, meski tak ada nada-nada gesekan tongkat bersenar dengan dawai-dawainya. Lama. lama baru kamu bisa maknai bahwa dunia tanpa biola itu jauh lebih syahdu, meski tak ada lagi untaian suara yang sangat serasi dengan malam yang sunyi. Karena di sana kamu tak lagi mendengar nada dan suara hanya dengan sepasang cuping telinga mu, tapi juga dengan segumpal daging yang bisa mengejawantahkan kata syahdu dan merdu jadi lebih bermakna –hati.

Biarkan biolamu tetap tak bernada dan kelu tak bersuara. 

Dan biarkan mereka menjadi saksi bahwa kamu dulu pernah tergila-gila untuk memainkannya, asalkan kamu  juga bersaksi bahwa apa yang ada di dunia tanpa-biola-mu jauh lebih merdu dan syahdu. Bahkan dari resital biola di dunia biola sekalipun, tetap lebih merdu dan syahdu.

---Teruntuk kalian yang menananyakan dimana biolaku.




[1] Wisma Darus Solihin, Pogung Dalangan, 18: 54 WIB. 20 Agustus 2013.