Modal Sosio-Kultural
dalam Menghadapi Bencana[1]
Perbedaan yang sangat terasa
dalam manajemen risiko bencana antara negara Timur dan Barat adalah terkait
modal sosio-kultural yang dimiliki oleh masyarakat dalam menghadapi bencana. Di
negara Barat tentu konstruksi sosio-kultural pada masyarakat mereka tidak
sekompleks dengan yang ada di negara timur, seperti Indonesia.
Kompleksitas konstruksi
sosio-kultural masyarakat kita (negara Timur) sejatinya menjadi peluang dan
tantangan tersendiri bagi kita. Peluangnya? Tentu kompleksitas itu berpotensi
untuk memperkaya dan mengokohkan modal yang dimiliki oleh masyarakat di dalam
menghadapi bencana sehingga bisa meningkatkan kapasitas mereka, yang pada
gilirannya akan mengurangi tingkat risiko bencana. Sebagai ilustrasi, sistem
tatanan sosial kita di Yogyakarta yang rasa kekeluargaannya masih tinggi sangat
berguna ketika terjadi bencana. Sebagai contoh betapa banyak pengungsi merapi
2010 atau gempa 2006 yang diakomodasikan oleh berbagai entitas sosial yang
hanya berlandaskan azaz kekeluargaan?
Sisi lain, kompleksitas
konstruksi sosio-kultural itu juga menjadi tantangan bagi manajemen risiko
bencana kita, yaitu bagaimana menciptakan instrumen (model) yang tepat yang
bisa digunakan untuk menilai konstruksi tersebut dalam bingkai kapasitas
masyarakat. Kita perlu berfikir keras untuk menciptakan model tersebut karena –tak
dipungkiri– dalam manajemen risiko bencana kita masih banyak mencontoh negara
barat, yang di sana konstruksi sosio-kulturalnya tidak serumit kita sehingga
tak terlalu repot bagi model yang ada di sana untuk menilai kapasitas
masyarakat dalam menghadapi bencana. Hal ini erat kaitannya dengan kebijakan
yang diambil untuk manajemen risiko bencana. Kebijakan seperti apa yang akan di
ambil di dalam manajemen risiko bencana sangat bergantung –diantaranya– pada
besar kecilnya kapasitas masyarakat. Sehingga, jika tidak tepat menilai besar
kecilnya kapasitas tersebut kebijakan yang diambil juga tidak akan tepat.
Belum lagi jika berbicara
penilaian potensi kerugian sosio-kultural jika terjadi bencana, seperti pertanyaan:
berapa cagar budaya yang terdampak? Berapa tempat “keramat” yang terpapar? Dst,
semakin kompleks. Maka, ini adalah tugas dan tantangan besar bagi “kita”.
[1] Notes
Singkat menjelang Magrib Jogja, 17:33 WIB, 18 Mar. 13
Sumber Gambar: http://www.infed.org/images/illustrations/artists_models.jpg
COMMENTS