Pembatal Solat[1]
Setidaknya kita melakukan solat lima kali dalam sehari. Tentu kita semua berharap solat yang telah kita lakukan akan diterima oleh Allah Jalla wa ‘Ala. Agar solat kita diterima oleh Allah, tentu solat tersebut haruslah sempurna. Diantara kesempurnaan solat adalah menjauhi segala jenis pembatal solat. Berikut sedikit pembahasan menganai pembatal-pembatal solat.

1.    Meninggalkan Rukun dan Syarat Solat
Solat seseorang akan batal jika ia meninggalkan salah satu dari rukun atau syarat solat padahal ia mampu untuk melakukan rukun dan syarat tersebut. Baik rukun atau pun syarat itu ditinggalkan karena sengaja, tidak tahu, atau lupa maka solat seseorang tadi tetap tidak sah. Contohnya adalah seseorang yang tidak melakukan rukuk dalam solatnya. Rukuk merupakan salah satu rukun solat. Jika seseorang meninggalkan rukuk dalam keadaan sengaja dan sadar, maka solatnya tidak sah dan ia akan mendapatkan dosa. Namun jika ia meninggalkan rukuk karena tidak tahu atau karena lupa, solatnya tetap tidak sah, akan  tetapi ia tidak mendapatkan dosa. [1] Berikut beberapa contoh pembatal solat terkait dengan rukun dan syarat solat yang sering terjadi:

Batal wudhu ketika solat
Wudhu merupakan syarat sah solat. Maka apabila wudhu batal maka batal pula solat. Di antara hal yang sering menyebabkan batalnya wudhu adalah buang angin (kentut). Perlu diingat, wudhu atau pun solat seseorang tidaklah batal sampai seseorang tersebut yakin benar bahwa ia telah buang angin. Jika ia masih ragu apakah ia telah buang angin atau hanya perasaan, maka solatnya belum batal. Hal  ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam kepada salah seorang sahabatnya :
لا ، حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا
“Jangan (kau batalkan solatmu) sampai terdengar suaranya atau tercium baunya”[2]
Diantara penyebab batalnya wudhu pula adalah terkena benda najis.

Merubah arah solat sehingga tidak mengahadap kiblat
Tidak sah solat seseorang yang tidak mengahadap kiblat kecuali jika ada ‘udzur (alasan) [3]. Sehingga jika ada orang yang merubah arah solatnya ketika solat tersebut sedang dilaksanakan tanpa adanya udzur, maka solat seseorang tersebut dianggap batal.

Terbuka aurat ketika solat
Menutup aurat juga merupakan syarat sah solat. Bagaimana jika ada seseorang yang di awal solatnya menutup aurat, lalu ketika solat auratnya ada yang terbuka? Ulama’ berselisih pendapat tentang hal ini. Imam Syafi’i berpendapat bahwa setiap aurat yang terbuka di dalam solat, baik itu sedikit atau pun banyak, hanya sebentar atau pun lama, maka solat telah dianggap batal. Akan tetapi Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah berpendapat solat akan batal jika aurat yang terbuka itu lebar.

2.    Berbicara Secara Sengaja
Apabila seseorang berbicara tanpa ada kebutuhan di dalam solatnya dan hal tersebut dilakukan secara sengaja, maka solat seseorang tersebut telah batal. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Zaid bin Arqom, beliau berkata :
كان نتكلم في الصالاة، يأمر أحدنا أخاه بحاجته حتى نزلت : {وقوموا لله قانتين}  فأمرنا بالسكوت و نهينا عن الكلام

“Dulu kami biasa saling berbicara di dalam solat, salah seorang di antara kami berbicara kepada temannya tentang hajatnya, sampai turun ayat : “Berdirilah (shalatlah) kalian karena Allah dalam keadaan khusyuk” . (Al-Baqarah: 238), lalu kami diperintahkan untuk diam dan kami dilarang untuk berbicara” [4]

Akan tetapi jika ada seseorang yang berbicara dalam solatnya karena ia lupa atau pun tidak tahu bahwa hukumnya terlarang, maka solat orang tersebut tidaklah batal. Hal ini berdasarkan sebuah hadits [5] yang mengisahkan ada salah seorang sahabat yang mengucapkan ‘yarhamukallah’ ketika mendengar ada seseorang yang bersin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam hanya menasihati sahabat tersebut untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi dan beliau tidak memerintahkan sahabat tadi untuk mengulang solatnya. Jadi, solat sahabat tadi tidaklah dianggap batal oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam karena sahabat tadi tidak tahu.

3.    Banyak Melakukan Gerakan yang Berturut-turut
Maksudnya adalah banyak melakukan gerakan yang tidak penting atau bukan bagian dari rukun solat solat dan hal tersebut dilakukan secara berturut-turut. Madzhab Syafi’i memberi batasan banyak bergerak adalah tiga kali. Artinya jika seseorang melakukan gerakan yang tidak penting atau bukan bagian dari rukun solat melebihi tiga kali, solat seseorang tersebut telah batal. Akan tetapi pendapat yang benar –Allahu’alam- adalah tidak ada batasan pasti tentang jumlah gerakan yang membatalkan solat, sehingga batasannya dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan/adat) yang berlaku di suatu tempat. Jika seseorang itu menurut ‘urf suatu tempat dianggap telah banyak melakukan gerakan dalam solat, maka solatnya telah batal.

Tidaklah termasuk pembatal solat banyak melakukan gerakan yang memang ada kebutuhan padanya. Jika seseorang memang harus banyak bergerak karena ada suatu kebutuhan, maka tidaklah mengapa. Hal ini berdasarkan banyak riwayat yang mengisahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam dan para sahabatnya melakukan gerakan-gerakan tertentu karena memang ada kebutuhan. Contohnya adalah riwayat yang mengisahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam membukakan pintu untuk istrinya ‘Aisyah, sementara beliau dalam keadaan solat [6].

4.    Makan dan Minum
Ibnul Mundzir berkata :
“Para ulama’ telah bersepekat bahwa barangsiapa yang sengaja makan atau pun minum di dalam solat fardhu (yang wajib) maka ia wajib mengulang solatnya” [7]

Begitu juga dengan solat sunnah, karena setiap yang membatalkan solat fardhu juga membatalkan sholat sunnah.
5.    Tertawa
Sahabat Jabir bin Abdillah berkata :
التَّبَسُّمُ لاَ يَقْطَعُ الصَّلاَةَ وَلَكنْ القَرقَرة
“Tersenyum tidaklah membatalkan solat, akan tetapi tertawa membatalkan solat” [8]
Ibnul Mundzir juga menjelaskan bahwa para ulama’ telah bersepakat bahwa tertawa membatalkan solat.
Para ulama’ menjelaskan, tersenyum memang tidak membatalkan solat, namun makruh hukumnya jika tidak ada udzur untuk melakukannya.

Wallahu’alam

[Muhammad Rezki Hr]

Catatan Kaki :
[1] Lihat penjelasan Syaikh Abdullah Al Jibrin dalam Kitab Ibahajul Mu’miniin Syarh Manhajis Salikiin
[2] HR Bukhori (No. 137) dan Muslim  (No. 361)
[3] Contoh udzur dalam hal ini adalah ketika di medan perang dan dikhawatirkan musuh akan menyerang secara tiba-tiba, sakit yang menyebabkan tidak memungkinkan menghadap kiblat, dan lain-lain.
[4] HR Bukhori (No. 4534) dan Muslim  (No. 539)
[5] HR Muslim (No.537) dari sahabat Mu’waiyah bin Al Hakam
[6] Berdasarkann hadits yang riwayat Abu Dawud (no.922), At Tirmidzi (no. 601), dan An Nasai (11/3)
[7] Lihat Sohih Fiqh Sunnah, Jilid I, halaman 320, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[8] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/387) dan Abdur Rozaq (2/378) dengan sanad yang hasan.

Rujukan :
1.    Ibahajul Mu’miniin Syarh Manhajis Salikiin karya Syaikh Abdullah Al Jibrin.
2.    Sohih Fiqh Sunnah karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
3.    Taudihul Ahkam Syarh Bulughul Marom karya Syaikh Abdullah Ali Bassam
4.    Taisiirul ‘Alaam Sayarh ‘Umdatul Ahkam karya Syaikh Abdullah Ali Bassam
5.    Matan Al Ghoyah Wat Taqriib fil Fiqhis Syafi’i  karya Syaikh Al Mahiid Al Hamawi


[1] Disusun oleh Muhammad Rezki Hr untuk dipublikasikan di website www.muslim.or.id (belum dipublikasikan)