Paradoks Feminism[1]
Entah
saya yang kurang faham tentang pemikiran kaum feminis, atau memang pemikiran
mereka yang masih prematur, saya melihat ada beberapa kerancuan dari pemikiran
kaum feminis (yang pada gilirannya menuntut kesataraan gender) khusus dalam hal
penataan ruang.
Di satu sisi kaum feminis dan
pembelanya menuntut persamaan posisi atau perlakuan. Namun di sisi lain mereka
menuntut hak-hak tertentu karena adanya kebutuhan yang berbeda, seperti ruang
atau jalur khusus, atau hal-hal lainnya yang terkait dengan kebutuhannya
sebagai wanita dan ibu rumah tangga. Selain itu pula, sebagaimana Jones (2010)
mempertanyakan apakah feminisme tepat untuk diklaim mengatasnamakan semua
manusia yang disebut perempuan. Butler & Scott (1992) dalam Jones (2010) menjelaskan
bahwa pastilah tidak semua perempuan adalah ibu. Sebagian bahkan tidak bisa
jadi ibu, karena terlalu muda atau terlalu tua, atau sebagian lain memilih
untuk tidak menjadi ibu. Maka perlu ditinjau kembali penggunaan kategori
perempuan dalam analisis feminisme, perempuan yang mana? Bagaimana hendak
mengakomodasikan kebutuhan dan keinginan perempuan dalam ruang (apalagi
kesetaraan) jika hal tersebut saja belum teridentifikasi secara jelas?
Apa
kerancuan ini karena kaum feminism itu sendiri tidak bisa membedakan perbedaan
dalam gender yang sifatnya kodrati dan sifatnya konstruksi sosial? Tapi kalau
mereka tidak faham mana perbedaan yang sifatnya kodrati dan konstruksi sosial
dalam gender bagaimana mereka bisa melontarkan tuduhan Stereotip dan Subordinasi gender? (yang
dengan dalih streotip dan subordinasi ini konsep islam banyak mereka kritik). Ditambah
lagi kesetaraan gender sudah menjadi agenda internasional dengan adanya MDGs
dan CEDAW (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts
Women).
Apa memang saya yang tidak faham ya?
Tapi,
terlepas dari itu semua, saya sepakat bahwa memang kaum perempuan adalah pihak yang sering dirugikan dengan
adanya ketidakadilan gender. Saya setuju dengan adanya gender mainstreaming,
terutama dalam hal penataan ruang (dengan pemikiran Gender-sensitive spatial
planning). Sebagai mana dijelaskan oleh Cuthbert (2006) bahwasanya struktur
(ruang) kota seringnya dirumuskan berdasarkan pemikiran patriarki-kapitalis.
Perempuan tidak mendapatkan haknya dalam penataan ruang. Ancaman, diskriminasi,
dan marginalisasi perempuan dalam hal mengakses ruang, partisipasi perencanaan,
dan kontrol terhadap ruang masih sering terjadi.
Referensi:
Cuthbert, Alexander R. 2006. The Form of Cities : Political Economy
and Urban Design. E-book Black Well Publishing.
Jones, Pip. 2010. Pengantar
Teori-teori Sosial. Jakarta. Pustaka Obor
Baca juga tulisan saya berjudul:
Pengarusutamaan Gender dalam Penataan Ruang
COMMENTS