Pernahkah engkau melihat orang yang mendatangi majelis ilmu sambil merangkak karena tidak memilki kaki yang sempurna? Saya pernah.
Pernahkah engkau melihat orang yang baru pulang bekerja di sore hari dan dimalam harinya masih menyempatkan diri hadir di majelis ilmu? Saya pernah.
Pernahkah engkau melihat seseorang yang berjalan berkilo meter untuk menghadiri majelis ilmu sehingga bajunya basah oleh keringat? Saya juga pernah.
Pernahkah engkau mendengar tentang sesorang yang mengayuh sepeda belasan kilometer untuk mendatangi majelis ilmu? Saya pernah.
Pernahpulakah engkau melihat seorang kakek tua yang berusaha keras menyisihkan waktunya untuk mendatangi majelis ilmu karena disibukkan mengurusi cucu-cucunya? Pun saya pernah.
Tidaklah perlu membuka kitab-kitab tentang kisah para salafus solih sebenarnya untuk menyemangati diri. Hanyalah mata hati yang perlu dibuka untuk mau mengambil pelajaran dan menyadarkan diri.Memang, jiwa itu sering lupa bersyukur,padahal Allah telah memberikan nikmat nan tak terbilang besar dan jumlahnya.

Semisal nikmat-nikmat Allah seperti yang telah disebutkan diatas. Tidaklah badan ini perlu merangkak untuk mendatangi majelis ilmu, karena Allah masih memberikan kaki yang sempurna. Belumlah Allah memberikan pekerjaan yang terlalu menyibukkan, sehingga masih mudah menyisihkan waktu untuk majelis ilmu. Belumlah Allah memberikan kesempitan rizki, sehingga masih dengan mudahnya kesana kemari mendatangi majelis-majelis ilmu dengan kendaran bermotor. Belum pula lah Allah menyibukkan kita dengan mengurusi anak cucu, sehingga dengan senggangnya masih pula bisa hadir di majelis ilmu.

Tapi, sekali lagi, jiwa ini memang sering lupa untuk bersyukur. Dan semoga, bukan dengan sebab dicabutnya nikmat-nikmat itu barulah sadar jiwa untuk bersyukur.

Sebut pula nikmat bisa tinggal di Jogja, terkhusus bisa berkumpul bersama-sama orang-orang solih –insya Allah- di wisma. Pernahkah engkau mendengar ‘rasa iri’ dari saudara-saudaramu yang tinggal tidak di Jogja? Tak kurang teman dari lima kota yang pernah mengungkapkan rasa irinya kepada saya tentangapa yang ada di Jogja. Yah, banyak hal yang mereka irikan. Mulai dari banyaknya majelis ilmu, sehingga tak satu hari pun kosong darinya. Dekatnya majelis ilmu, sehingga berjalan kaki pun tiada masalah. Sampai pada sistem pendidikan agama yang dirancang demikian rupa sehingga memudahkan mahasiswa dalam mempelajari agama. Memang benar adanya nikmat-nikmat yang mereka iri-kan itu, karena serta merta aku teringat pada Ma’had yang ada di sekitar kita.Di kota mana ada ma’had yang bisa mendatangkan ustadz-ustadz untuk mengajar mahasiwa dengan waktu yang fleksibel, sehingga tidak mengganggu perkuliahan mahasiwa.

Sepatutnya jiwa bertutur:
Apakah diri ini telah merasa (angkatan) tua dan berfikir menuntut ilmu itu untuk yang muda saja?
Apakah diri ini masih berharap pada kata ‘nanti’ atau ‘hari tua’ untuk menuntut ilmu?
Atau kah diri ini telah merasa berilmu, sehingga tak perlu lagi menuntu ilmu?
Aduh,jika demikian, alangkah rugi sebatang badan yang kelak mati, menggergaji batang pohon diri sendiri.

* sekedar memintal nasihat untuk diri sendiri, untuk mencari kembali semangat diri yang mulai hilang. Yang dengan semangat itu semoga bisa menjadi tanda syukurku atas nikmat Allah yang besar ini, dan semoga bisa menjadi tanda terimakasih kepada guru-guruku yang telah mau menyisihkan waktunya yang terbatas untuk mengajari ku, pun bukti terimakasih kepada teman-teman yang masih mau memikirkanku.

Di Pojok Kamar, Ahad, 11 Maret. 2012, Menjelang Magrib Jogja.