Resilient
Settlement: Solusi dan Tantangan [1]
Perubahan iklim saat ini semakin disadari menjadi salah satu
tantangan global yang paling penting. The Inter-governmental Panel on
Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa frekuensi, keparahan, dan intensitas
bencana alam akibat perubahan iklim cenderung meningkat dari waktu ke waktu (IPCC, dalam Djalante dan Frank, 2010). Selain
meningkatkan frekuensi, keparahan, dan intensitas bencana alam, perubahan iklim
juga menimbulkan banyak dampak negatif. Diantara dampak negatif tersebut adalah
berkurangnya intensitas hujan dan intesintas air tanah, naiknya permukaan air
laut, berubahnya pola cuaca, turunnya produktifitas lahan pertanian dan
perkebunan, meningkatnnya biaya pengeluaran untuk memperoleh energi, mengancam
kesehatan manusia, dan berbagai dampak lainnya. (DPCD Victoria, 2008)
Indonesia merupakan negara yang sangat rentan untuk menerima
dampak dari perubahan iklim tersebut. Sebagai negara kepulaun dan memiliki
kawasan pesisir yang sangat luas, kenaikan permukaan air laut ditenggarai akan
menjadi dampak yang paling mengancam bagi Indonesia, disamping dampak-dampak
lainnya yang juga tak kalah mengkhawatirkan. Sebagai gambaran, secara sosial kawasan
pesisir Indonesia dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari penduduk
Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai.
Sedangkan secara administratif, kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah
Kabupaten berada di kawasan pesisir (Menkimpraswil, 2003). IPCC meramalkan
mulai tahun 2070 sampai tahun 2100, jika terjadi kenaikan permukaan air laut mencapai
100 cm, diperkirakan 2.000 pulau dan 405.000 Ha daratan Indonesia akan
tenggelam, 800.000 rumah terendam air laut, ratusan ribu penduduk kehilangan
tempat tinggal dan mengungsi ke tempat yang lebih tinggi, 50 meter daratan dari
garis pantai sepanjang 81.000 km akan tenggelam, dan 14.000 desa yang berada di
pesisir akan hilang (Tassie, 2010). Kekhawatiran akan ancaman bencana di
Indonesia pun akan bertambah besar jika melihat posisi Indonesia secara geoglogis.
Secara geologis, Indonesia berada pada ring of fire yang menyebabkan
frekuensi terjadinya bencana gempa dan letusan gunung berapi akan lebih banyak.
Mengapa Konsep Resilience Menjadi Penting?
Menghadapi fakta bahwa ancaman bencana semakin besar, dunia
internasional, termasuk indonesia, mulai memikirkan cara agar dampak yang
terjadi akibat bencana bisa diminimalisir. Melalui berbagai konferensi dan
media diskusi didapatilah paradigma baru dalam pengelolaan bencana, yaitu
paradigma yang sering disebut ‘Pengurangan Resiko Bencana’ (PRB, dalam bahasa
Inggris Disaster Risk Reduction). PRB adalah sebuah paradigma dalam
pengelolaan bencana yang merupakan pengembangan dan penerapan secara luas dari
kebijakan-kebijakan, strategi-strategi dan praktik-praktik untuk meminimalkan kerentanan
dan risiko bencana. PRB adalah sebuah pendekatan sistematis untuk
mengidentifikasi, mengkaji, dan mengurangi resiko-resiko bencana. PRB bertujuan
untuk mengurangi kerentanan-kerentanan sosial-ekonomi terhadap bencana dan
menangani bahaya-bahaya lingkungan maupun bahaya-bahaya lain yang menimbulkan
kerentanan. Paradigma PRB melihat bencana sebagai sebuah permasalahan kompleks
yang menuntut adanya penanganan kolektif yang melibatkan berbagai disiplin dan
kelompok kelembagaan yang berbeda. (Twigg, 2009)
Resilience merupakan sebuah pemikiran yang menjadi
konsep penting di dalam penerapan PRB. Penerapan konsep resilience dalam
PRB adalah pendekatan baru yang memberikan dampak positif karena dianggap mampu
membawa perspektif baru untuk memahami ketahanan terhadap bencana. Dengan
adanya konsep resilience, PRB tidak
lagi hanya terfokus pada pemenuhan
kebutuhan dan kesenjangan pada pra-bencana, tetapi juga memberikan fokus terhadap
pembangunan kapasitas (capacity building) masyarakat untuk mengurusi
diri mereka sendiri secara mandiri (Djalante dan Frank, 2010). Ringkasnya, resilience merupakan sebuah
konsepsi penting di dalam PRB yang digunakan untuk mengurangi dampak bencana,
yaitu dengan memberikan arahan bagaimana sebuah kota, komunitas, infrastruktur,
atau pun settlement bisa memiliki sebuah ketahanan untuk menghadapi
berbagai resiko bencana.
Konsep Ressilience
Konsep resilience baru digagas pada level internasional
pada satu dekade terakhir. Karena belum lama digagas, maka para ahli masih memperdebatkan
tentang hakikat dari konsep ini, nilai-nilai apa saja yang harus ada sehingga
sesuatu itu bisa dikatakan resilience. Perdebatan
semakin ramai ketika para ahli membahas pada tataran mana resilience
itu akan
diterapkan, apakah pada level komunitas, kawasan permukiman (settlement),
kota, atau cukup pada infrastruktur-fisik saja. Hal inilah yang menyebabkan belum
adanya pengertian yang baku dari konsep resilience itu
sendiri. Para ahli memberikan pengertian yang berbeda-beda sesuai dengan
tataran pengaplikasian konsep ini.
Pada tataran komunitas, Twigg (2009) misalnya, beliau
mendefinisikan resilience sebagai konsep dimana komunitas mampu untuk mengantisipasi,
meminimalkan, dan menyerap tekanan atau kekuatan yang bisa merusak tataran
komunitas (dalam hal ini bencana) melalui adaptasi atau peningkatan ketahanan
komunitas. Ketika bencana terjadi, komunitas
harus mampu mengelola atau memanajemen fungsi dan struktur dasar dari komunitas
itu sendiri. Juga, bagaimana komunitas mampu memulihkan atau 'bangkit kembali' secara
mandiri setelah terjadinya bencana.
Pada tataran settlement, Department of Planning and
Community Development (DPCD) Victoria (2008) mendefinisikan resilience
sebagai sebuah konsep yang mengarahkan bagaimana sistem yang ada pada settlement bisa
menerima resiko yang ada dan tidak terlalu terpengaruh terhadap
perubahan-perubahan (seperti dampak perubahan iklim), namun apabila diperlukan
sistem yang ada harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
tersebut.
Pada
tataran kota, Vale dan Campanella (2005) menggambarkan konsep resilience
dengan bagaimana suatu kota mampu pulih secara cepat dan efektif setelah
terjadinya bencana, yang hal tersebut sangat tergantung pada networks, urban
flow, dan services yang ada di kota. Dan juga Pelling (2003) menggambarkan
konsep resilience pada tataran kota dengan bagaimana suatu kota
mampu mengatasi atau pun beradaptasi dengan resiko bencana yang ada.
Adapun
pada tataran fisik, terkhusus infrastruktur, sudah banyak contoh-contoh konkrit
dari penerapan konsep resilience. Sudah banyak para ahli (engineer)
yang memberikan kontribusi berupa rekayasa fisik atau pun teknologi agar lingkungan
terbangun bisa tahan bencana, seperti pembangunan tanggul, bendungan, bangunan
tahan gempa, dan lain-lain.
Djalante dan Frank (2010) mencoba
mendefinisikan resilience secara umum. Resilience didefinisikan
sebagai kemampuan untuk bangkit kembali atau kemampuan untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang timbul pasca bencana, dan juga kemampuan untuk bertahan dan
menghadapi bencana sehingga dampak kerusakan yang didapat bisa minimum. Djalante
dan Frank (2010) juga mendefinisikan resilience sebagai kapasitas untuk
menghindari, mengurangi, dan meminimalkan dampak bencana, serta mampu pulih
secara cepat dan efektif dari dampak tersebut.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai konsep resilience,
resilience juga bisa didefinisikan sebagai lawan dari kerentanan (vulnerability)
terhadap resiko bencana. Kerentaan yang juga merupakan konsep di dalam
paradigma PRB, didefinisikan Djalante dan Frank (2010) sebagai suatu kondisi yang
sangat rawan terhadap resiko bencana dan sangat dipengaruhi oleh faktor atau
pun proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan. Karena konsep resilience
dan kerentanaan sangat erat hubungannya, maka faktor atau pun proses fisik,
sosial, ekonomi dan lingkungan juga sangat mempengaruhi nilai-nilai resilience.
Mengurangi nilai kerentanan, berarti juga meningkatkan nilai resilience.
Salah satu karya paling awal yang menggagas
konsep resilience adalah apa yang ditulis oleh Timmerman. Timmerman mendefinisikan
resilience sebagai kapasitas sistem untuk beradaptasi dan pulih dari
terjadinya peristiwa yang berbahaya. Sebagaimana juga yang didefinisilan Wildavsky,
resilience adalah konsep agar suatu sistem lebih tahan terhadap bencana,
bukan hanya dengan kebal terhadap perubahan, tetapi juga bagaimana sistem bisa bangkit
kembali, memitigasi, dan pulih dari bencana. Wildavsky juga mengemukan bahwa
karakteristik umum dari sebuah sistem yang resilience adalah redundansi
(pengulangan), keragaman, efisiensi, otonomi, kekuatan, saling ketergantungan,
adaptasi, dan kolaborasi. (Djalante dan Frank, 2010)
Resilient Settlement : Sebuah Konsepsi
Ditengah perdebatan pada tataran mana resilience lebih
efektif untuk diterapkan, dalam tulisan ini penulis lebih memilih untuk membahas
konsep resilince pada tataran settlement dengan dua pertimbangan.
Pertama, jika berbicara tentang settlement maka tentu akan berbicara
secara komprenhensif dari berbagai aspek. Sudah tercakup padanya aspek fisik
dan non fisik. Jika resilience pada tataran infrastruktur lebih
menekankan pada aspek fisik, dan resilience pada tataran komunitas
menekankan pada aspek sosial, maka pada settlement menekankan pada
seluruh aspek terkait, baik itu aspek legal, fisik, sosial, lingkungan,
politik, dan ekonomi. Kedua, kenapa tidak pada tataran kota/urban? Sebenarnya,
penerapan nilai resilince pada
tataran kota dan settlement hampir sama, yang membedakannya hanya
cakupan luasan wilayahnya. Settlement memilikki scope yang lebih
kecil dari pada kota, dan merupakan bagian dari kota/urban itu sendiri. Hal ini
memungkinkan konsep ini bisa diaplikasikan oleh Pemerintah Daerah, Lembaga Non
Pemerintah (NGO), atau pun komunitas. Berbeda dengan kota yang scopenya
lebih besar.
Settlement (dalam bahasa Indonesia : Kawasan Permukiman)
adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa
kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan
dan penghidupan (Permenpera No.14 2006). Dalam konteks pembahasan yang terkait
dengan konsep kerentanan dan resilience, maka DPCD Victoria
(2008)
mendefinisikan settlement sebagai:
“A
discrete, relatively permanent group of households, most often with services,
that together form a built-up environment or urban system”
Discrete (ciri khas) yang dimaksud adalah memiliki
identitas tertentu yang tergantung pada tempat, waktu, dan budaya.
Konsep resilience pada tataran settlement bisa
diterapkan pada sistemnya, mencakup seluruh komponen penyusun sistem settlement
itu sendiri. Artinya, pembicaraan mengenai settlement dalam konteks
ini berorientasi kepada sistem, bukan pada fisik-lingkungan terbangun. Sistem settlement
yang resilience adalah sistem yang dapat menerima berbagai kemungkinan
resiko dan tidak terlalu terpengaruh terhadap perubahan yang dihadapi. Akan
tetapi jika diperlukan penyesuaian terhadap perubahan, sistem settlement
juga harus mampu menyesuaikan diri. Semakin resilient sebuah sistem settlement,
maka semakin besar sistem itu dapat beradaptasi dengan perubahan yang ada
(seperti perubahan iklim), sehingga kerentanan terhadap resiko bencana semakin
rendah. Tingkat resilience dari sistem settlement merupakan hasil
refleksi dari berbagai unsur penyusunnya, yaitu berbagai nilai sosial, politik,
ekonomi, dan institusional yang berlaku pada saat itu. Sebagai gambaran,
sebagaimana ditunjukkan dari banyak penelitian, komunitas miskin yang menempati
sebuah settlement yang memiliki kemampuan ekonomi yang rendah
maka komunitas tersebut sangat rentan akan resiko bencana.
Perencanaan resilient settlement adalah
perencanaan yang komprehensif dan harus mempertimbangkan banyak aspek karena
terkait sistem yang menyusunnya. Sebagaimana Pelling (2003) menyatakan bahwa
aspek fisik, sosial, politik, ekonomi, insitusi, dan ekologi merupakan komponen
yang menyusun dan saling mempengaruhi nilai dari sebuah konsep kerentanan dan resilience,
maka
begitu juga resilient settlement sangat dipengaruhi aspek-aspek
tersebut.
Pada bagian berikut, akan dibahas lebih lanjut beberapa aspek
dari aspek-aspek tersebut. Namun, tidak akan dibahas aspek teknis dengan
pertimbangan sudah banyak pembahasan aspek teknis di level internasional maupun
lokal, yang hal tersebut tidaklah susah untuk diadopsi dan diaplikasikan
(semisal konstruksi bangunan tahan gempa). Berbeda dengan aspek sosial dan
lainnya yang perlu banyak mempertimbangkan faktor lokal.
Aspek Sosial : Meningkatkan Kemampuan Adaptasi dan Capacity
Building Komunitas Settlement
Dari aspek sosial, tantangan utama dalam mewujudkan resilince
settlement adalah bagaimana meningkatkan kemampuan adaptasi dari sebuah komunitas
sosial yang menempati sebuah satuan settlement. Adaptasi adalah sebuah
respon yang dilakukan untuk mengantisipasi atau menghadapi perubahan. Dalam
aspek sosial sistem settlement, adaptasi didefiniskan sebagai proses
pembelajaran (baik itu oleh individual, kelompok, atau komunitas sosial) dari
sebuah pengalaman untuk mengantisipasi dan menghadapi perubahan kondisi alam, yang
berfungsi untuk memberikan umpan balik, sehingga kedepannya bisa merubah dan
meningkatkan kapasitas dalam praktek, kebijakan, dan pendekatan pada tataran settlement.
Adaptasi tersebut pada gilirannnya akan menyebabkan terjadinya perbaikan
nilai-nilai sosial dan budaya (DPCD Victoria 2008). Kemampuan
adaptasi dalam komunitas settlement juga didefiniskan sebagai kemampuan
sistem untuk menyesuaikan diri dengan tekanan yang dihadapi (resiko bencana) dan
untuk mengatasi konsekuensi yang tercipta dengan adanya tekanan tersebut. Dalam
hal ini, tingkat ekonomi, penguasaan teknologi, pendidikan, informasi,
keterampilan, infrastruktur, akses ke sumber daya, dan kemampuan manajemen
sangat mempengaruhi (McCarthy, dalam DPCD Victoria 2008).
Kemampuan adaptasi dari sebuah komunitas settlement sangat
dipengaruhi oleh kondisi mekanisme yang ada yang digunakan untuk mengelola atau
menyesuaikan diri dengan perubahan, dalam hal ini adalah kondisi pemerintahan,
nilai-nilai sosial sosial yang berlaku, dan faktor-faktor sosio-ekonomi. Komunitas
yang mampu menanggapi atau menghadapi perubahan dengan cepat dan mudah dapat
dikatakan komunitas yang memiliki tingkat adaptasi yang tinggi atau telah
memiliki kemampuan untuk beradaptasi. Kemampuan komunitas untuk beradaptasi pada
tataran settlement dapat ditingkatkan melalui pengadaan dan peningkatan informasi
(penelitian, data, dan montiroring,
dst), pengembangan struktur sosial (pengembangan organisasi sosial, kemampuan
bekerjasama, dan pengembangan institusi sosial), dan menciptakan kondisi pemerintahan
yang mendukung (peraturan, legislasi, dan bimbingan) yang diperlukan sebagai
dasar untuk memberikan tindakan adaptasi. (DPCD Victoria 2008)
Mengembangkan kemampuan atau kapasitas dari komunitas settlement
juga merupakan strategi penting untuk mewujudkan resilient
settlement karena menyebakan komunitas settlement bisa mengelola dan
menghadapi resiko yang mereka hadapi secara mandiri, yang ini merupakan konsep
penting dari resilient settlement. Mengembangkan kemampuan
atau kapasitas (capacity building) dari komunitas settlement
dapat
dilakukan melalui transfer teknologi, pertukaran informasi, pengembangan
jaringan, pelatihan keahlian manajemen, dll. Untuk mewujudkan hal tersebut
perlu dibuat semacam pusat atau jaringan bagi partisipasi komunitas. Dengan
adanya kesempatan untuk berpartisipasi, kesadaran komunitas bisa meningkat, dan
ketika itulah pendidikan dan informasi mengenai adaptasi bisa diberikan.
Keberadaan LSM atau lembaga sosial lainnya juga bisa dimanfaatkan untuk
mendorong tingkat partisipasi komunitas settlement.
Ringkasnya, menerapkan konsep resilience sebenarnya
akan memberikan perhatian lebih besar kepada ‘apa yang komunitas bisa lakukan
untuk diri mereka sendiri’ atau ‘bagaimana mereka bisa meningkatkan kapasitas
mereka’, tidak lagi hanya perhatian pada guncangan apa yang akan dialami oleh
komunitas ketika menghadapi bencana atau apa kebutuhan mereka dalam kondisi
darurat saat terjadi bencana. Pemberdayaan (empowerment) komunitas settlement
bertujuan untuk mengurangi kerentanan sosial masyarakat. Dengan mengurangi
kerentanan komunitas, berarti nilai resilience juga akan meningkat.
Faktor-faktor
sosial lokal perlu diidentifikasi lebih lanjut untuk mewujudkan resilient
settlement dari aspek sosial. Karena sebagai mana dikatakan DPCD
Victoria (2008), cara yang tepat untuk mewujudkan resilient settlement dari
aspek sosial adalah sangat tergantung tempat dan waktu karena kondisi geografis dan
sosio-politik pasti berbeda-beda.
Aspek Legal : Integrasi Perencanaan dan Kebijakan
Kebijakan perencanaan dan pembangunan resilient settlement haruslah
terintegrasi dengan berbagai rencana dan kebijakan pembangunan dan pengelolaan
bencana. Hal ini menjadi penting, karena sebagaimana diindikasikan oleh
Quarantelli (1974), diantara kelemahan rencana atau pun kebijakan terkait
kebencanaan yang selama ini ada tidak terintegrasnya rencana-rencana dan
kebijakan yang ada. Dikarenakan bencana-bencana yang disebabkan oleh perubahan
iklim merupakan fenomena internasional dan dialami oleh dunia internasional, kebijakan
perencanaan dan pembangunan resilient settlement pada level lokal juga harus
memperhatikan kebijakan internasional terkait kebencanaan, disamping juga
kebijakan nasional. Dan karena perencanaan dan pembangunan resilient settlement
multi aspek, maka juga harus terintegrasti dengan kebijakan dan rencana
sektoral dari berbagai stakeholder terkait.
Terkait dengan aspek-aspek lainnya dari resilient settlement (sosial,
politik, dan ekonomi), perencanaan dan kebijakan resilient settlement
harus bisa memayungi dan mengatur mekanisme dari nilai-nilai resilience yang
ada pada aspek tersebut. Pada aspek sosial (sebagaimana telah dibahas di atas) misalnya,
maka perencanaan dan kebijakan resilient settlement harus bisa memayungi
dan mengatur mekanisme partisipasi masyarakat dan pengembangan kapasitas (capacity
building). Pada aspek teknis, perencanaan dan kebijakan resilient
settlement harus bisa memayungi dan mengatur mekanisme-mekanisme teknis
seperti pengaturan tata guna lahan, pengaturan tata guna bangunan, pengaturan
standar permukiman, dan sebagainya. Dan begitu juga aspek lainnya yang akan
dibahas di bawah. Dan tentu yang tak kalah penting adalah bagaimana perencanaan
dan kebijakan yang ada bisa membuat mekanisme agar semua stakeholder yang
terlibat bisa taat dan patuh, sehingga bisa on the right track.
Aspek
Politik : Pemangku Kepentingan & Kemauan Politik dari Pemerintah
Pemerintah memainkan peran kunci dalam mengurangi kerentanan
dan meningkatkan nilai resilience dalam sistem settlement. Pada proses
peningkatan partisipasi dalam sistem settlement, pemerintah berperan
sebagai fasilitator. Pemerintah juga harus memikirkan cara bagaimana komunitas bisa
‘percaya’ pada proses partisipasi, bahwa partisipasi bukan dalam rangka
kepentingan tertentu, akan tetapi demi kepentingan komunitas itu sendiri.
Pemerintah perlu mengarahkan sistem settlement agar tercipta pemahaman
bersama bahwasanya memobilisasi dan mengorganisir diri secara mandiri oleh sistem
settlement itu diperlukan. Dibutuhkan leadership dan kemauan yang
cukup dari pemerintah untuk bereksperimen dan menghasilkan solusi alternatif
untuk membangun nilai resilience.
Menurut UN/ISDR dalam Djalante dan Frank (2010), ada dua cara
di mana pemerintah dapat memberikan kontribusi dalam menciptakan nilai resilience
(dalam hal ini pada tataran settlement). Pertama, pemerintah dapat
memberikan suatu kerangka terpadu bagi lembaga pada tingkat yang berbeda.
Kedua, pemerintah harus bisa mendorong partisipasi dan keterlibatan semua stakeholder
yang terkait. Kerangka terpadu yang diciptakan memberikan arahan tindakan apa
yang harus diambil dari masing-masing level pemerintahan agar tidak terdapat
tumpang tindih tugas pokok dan fungsi. Downing dalam Djalante dan Frank (2010)
memberikan arahan tentang pembagian tugas pokok dan fungsi pada masing-masing
tingkatan pemerintahan. Pada level nasional, pemerintah melakukan penilaian (assessments)
terhadap tingkat kerentanan (settlement dalam konteks ini) untuk
kemudian menetapkan prioritas penanganan sambil menganalisis faktor-faktor dan
isu-isu masing-masing regional yang mempengaruhi kerentanan tersebut. Pada
tingkat lokal, penilaian terhadap kerentanan dilakukan lebih detail lagi dengan
proses partisipatif, yaitu dilakukan pada tataran individu atau komunitas mana
yang paling rentan terhadap resiko bencana. Pemerintah lokal juga perlu
mendorong kemampuan adaptasi dari komunitas yang rentan. Kemudian juga
diperlukan penilain sektoral dari stakeholder terkait untuk
mengidentifikasi berbagai kebutuhan, seperti konsumsi, yang juga memiliki nilai
kerentanan.
Perlu ada konsensus politik mengenai pentingnya PRB, terkhusus
mengenai konsep resilient settlement, dari semua tingkatan dan sektor
pemerintahan. Setelah konsensus itu terjadi maka dalam PRB diharapkan semua
kebijakan pembangunan mulai mempertimbangkan PRB. Untuk mewujudkan resilient
settlement, membuat payung perundangan penerapan konsep resilience
dalam PRB adalah sebuah keniscayaan. Pemerintah pada semua tingkatan harus mau
menggunakan pendekatan yang holistik dan terpadu untuk PRB, dan terkait dengan
perencanaan pembangunan di berbagai sektor.
Pemerintah juga harus mau membuka diri terhadap NGO baik dari
dalam atau pun luar negeri. Dan juga membuka diri dengan berkonsultasi dengan
masyarakat sipil, LSM, danr swasta dalam pengambilan kebijakan kebencanaan. Dan
tentu yang tak kalah dibutuhkan adalah keberpihakan pendanaan. (diringkas dari
Twigg, 2009)
Aspek Ekonomi : Peningkatan
Ekonomi untuk Meningkatkan Resilience
Dari banyak pengalaman pengelolaan bencana dan pasca bencana
di bebagai negara diketahui bahwa komunitas yang memiliki kemampuan ekonomi
yang rendah adalah komunitas yang sangat rentan terhadap resiko bencana.
Sehingga, pembangunan ekonomi pada tataran settlement sebenarnya bisa
dimanfaatkan untuk mengurangi kerentanan komunitas yang ada di settlement itu
sendiri. Pengembangan ekonomi secara tidak langsung menyediakan lingkungan yang
kondusif bagi kemandirian masyarakat. Selain itu, kemampuan komunitas untuk bangkit
dan pulih dari bencana sangat dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi mereka dan
keragaman sumber mata pencaharian. Kunci untuk pembangunan ekonomi adalah
penyediaan modal yang mempengaruhi mata pencaharian komunitas pada settlement,
khususnya komunitas miskin (Djalante dan Frank, 2010). Maka dari sini juga
disadari bahwa diperlukan adanya sebuah penilaian (assesment) terhadap
kondisi ekonomi komunitas pada settlement untuk kemudian diambil
langkah-langkah penanganan, seperti pemberdayaan ekonomi.
Penutup
Saran
Perlu dilakukan banyak penelitian lagi mengenai konsep resilience,
terutama pada faktor-faktor lokal yang berbeda-beda tergantung pada waktu dan
tempat. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut akan diketahui lebih lanjut
mengenai faktor apa yang sebenarnya menjadi pendukung dan penghalang
terwujudnya konsep resilience.
Gambar 1: Hubungan antar aspek penyusun resilient
settlement.
Referensi
Department of Planning and Community Development (DPCD) Victoria.
2008. Settlement Vulnerability Assessment. Diunduh dari www.dpcd.vic.gov.au
pada tanggal 27 November 2011.
Twigg, John. 2009. Characteristics of a Disaster-Resilience
Community. Diunduh dari :
www.abuhrc.org/research/dsm/Pages/project_view.aspx?project=13 pada 27 November
2011.
Anonim.2006.Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana
2006-2009. Bappenas.
Tassie, Anderias Markus. 2009.
Kota Tanggap Perubahan Iklim : Konsep, Prospek, dan Kendala. Majalah URDI.
Quarantelli, E.L. 1974. Weaknesses in Disaster Planning.
SAGE. Diunduh dari www.pro.sagepub.com pada 31 Oktober 2011.
Djalante, Riyanti dan Frank Thomalla. 2010. Community Resilience
To Natural Hazards And Climate Change Impacts: A Review Of Definitions And
Operational Frameworks. Diunduh dari : - pada 26 November 2011.
Vale, L. J. dan T. J. Campanella. 2005. The Resilience
City: How Modern Cities Recover from Disaster. Oxford University Press.
Pelling, M. 2003. The Vulnerability of Cities: Natural Disaster
and Social Resilience. Earthscan Publications Ltd.
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. “Tinjauan
Aspek Penataan Ruang dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir”. Disampaikan
dalam Seminar Umum Dies Natalis ITS ke-43, Surabaya, 8 Oktober 2003. Diundauh
dari : http://www.penataanruang.net/taru/upload/paper/ Men_PRLautPesisir-ITS43.pdf
pada 2 Oktober 2011.
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 14/PERMEN/M/2006 Tentang Penyelenggaraan Perumahan Kawasan Khusus.
[1]
Disusun oleh Muhammad Rezki Hr dalam rangka mengikuti sayembara penulisan
dengan tema Rehabilitasi dan Rekonstruksi dalam Penanggulangan Bencana Bertumpu
pada Masyarakat yang diseleggarakan oleh Rekompak-JRF.
COMMENTS