Tadi sore,
saya berbincang-bincang dengan salah satu teman dari Pekanbaru yang baru
mengenal kebenaran (baca:megaji).
Ia bercerita
tentang bagaimana perjuangannya mengenal kebenaran.
Bagaimana ia
berusaha melobi orangtuanya agar boleh berpakaian sesuai sunnah.
Bagaimana
bersemangatnya ia ingin mendakwahkan kebenaran yang baru ia kenal kepada
orangtua, keluarga, dan karib kerabatnya.
Bagaimana ia
menangis ketika mendengar kajian-kajian Al Ustadz Armen Halim Naro
-Rohimahullah-
Bagaimana ia
berjuang mencari, menemukan, dan mendatangai majelis-majelis ilmu.
Bagaimana ia
berusaha bertanya/mencari kesana kemari apakah ibadah yang ia lakukan sudah
benar atau belum.
Yah…Sama
persis dengan yang dulu juga pernah saya alami,
Sebuah fase
yang saya yakin hampir semua dari kita mengalaminya dulu,
dulu ketika
kita juga baru mengenal kebenaran ini,
lalu
pertanyaannya,
dimana kita
yang dulu?
Adakah kita
masih bersemangat ingin mendakwahkan kebenaran ini kepada orang tua, keluarga,
dan karib kerabat, seperti dulu ketika kita baru mengenal kebenaran?
Adakah kita
masih menangis jika mendengar kajian-kajian yang dibacakan ayat-ayat Allah dan
hadits-hadits Rasulullah di dalamnya, seperti dulu ketika kita baru mengenal
kebenaran?
Adakah kita
masih bersemangat untuk mendatangi majelis ilmu, seperti dulu ketika kita baru
mengenal kebenaran?
Adakah kita
masih memperhatikan ibadah kita apakah sudah sesuai sunnah NabiNya atau belum,
seperti dulu ketika kita baru mengenal kebenaran?
ataukah
hanya tertinggal pakaian yang ‘sunnah’ saja pada diri kita? tanpa ada semangat,
tangis, dan perhatian lagi?
Yaa
Muqollibal quluub.. tsabit quluubanaa ‘alaa diinik.
*notes ini saya tulis di facebook pada April 2011
COMMENTS