Instrumen
Perencanaan Kawasan Permukiman
yang Tanggap Perubahan Iklim[1]
Dampak Perubahan Iklim bagi Kawasan Permukiman
Yang
harus disadarai oleh berbagai pihak bahwasanya kawasan permukiman merupakan
salah satu yang menjadi korban dengan adanya perubahan iklim, tak terkecuali
kawasan permukiman di Indonesia. Sebagai dampak dari meningkatnya gas rumah
kaca pada lapisan atmosfir, perubahan iklim tentunya juga akan diiringi dengan kenaikan
suhu dunia dan juga kenaikan permukaan air laut. Dua buah dampak yang akan
sangat luar biasa bagi kawasan permukiman. Dengan adanya kenaikan suhu, ongkos
sosial dan ekonomi pada kawasan permukiman otomatis meningkat pula. Belum lagi
dengan adanya kenaikan permukaan air laut, sebagian kawasan permukiman akan
hilang karena tergenang air. Terlebih bagi Indonesia yang memiliki garis pantai
dan daerah pesisir yang sangat besar. Tak sedikit penduduk yang memilih tinggal
di daerah pesisir. Di Jakarta saja contohnya, pada tahun 1939 tercatat terdapat
1.210 hektar hutan mangrove pada kawasan pesisirnya dan saat ini hanya tercatat
tinggal 310,50 hektar. Hilangnya hutan mangrove tersebut sebagian besarnya
disebabkan oleh munculnya perumahan-perumahan baru pada kawasan pesisir
tersebut.
Sumbangsih Kawasan Permukiman terhadap Perubahan Iklim
Kota dikatakan sebagai sebuah pusat peradaban. Jika dilihat lebih
dalam lagi, terdapat berbagai kawasan di dalam kota. Diantara seluruh kawasan
yang ada, yang menjadi kawasan konsentrasi kehidupan manusia adalah kawasan
permukiman. Tak salah jika dikatakan kawasan permukiman merupakan pusat dari
pusat peradaban. Artinya di kawasan permukiman terdapat berbagai aktifitas
dengan intensitas tinggi.
Tidak ada yang mempermasalahkan
ketika manusia melakukan aktifitas dengan intensitas tinggi di kawasan
permukiman. Namun, hal tersebut menjadi masalah ketika aktifitas tersebut
merupakan aktifitas yang ternyata tidak hanya memberikan dampak positif bagi
manusia, tapi juga memberikan dampak negatif karena memberi kerusakan pada lingkungan
seperti dengan terbuangnya gas rumah kaca dalam jumlah besar ke atmosfir.
Melonjaknya tingkat konsumsi manusia beberapa dekade terakhir menyebabkan
dampak negatif yang dihasilkan dari sebuah aktifitas juga melonjak drastis.
Keinginan untuk melakukan suatu aktifitas yang lebih praktis dan mudah tak
jarang melupakan manusia dari dampak kerusakan yang dihasilkanya bagi
lingkungan sekitarnya. Agar didapat sesuatu yang lebih praktis dan mudah,
tentunya energi yang dibutuhkan juga lebih besar. Akhirnya segala aktifitas
yang membutuhkan energi besar terakumulasi
sehingga membutuhkan energi dalam jumlah yang sangat besar. Listrik dan bahan
bakar fosil merupakan sumber energi yang sangat banyak digunakan sampai
sekarang. Padahal kebanyakan pusat-pusat pembangkit listrik menggunakan sumber
energi yang tidak ramah lingkungan sehingga turut berkontribusi di dalam
meningkatkan kadar gas rumah kaca pada lapisan Atmospher. Hasil dari aktifitas
yang menggunakan listrik tersebut pun hampir semuanya kini juga menghasilkan
gas rumah kaca. Diantara contohnya adalah penggunaan AC dan kulkas yang menghasilkan
gas CFC. Belum lagi dampak dari aktifitas transportasi perkotaan yang tercipta
dengan adanya kawasan permukiman. Apapun kawasan yang menjadu tujuan dari
aktifitas transportasi, seluruhnya pasti berawal dari kawasan permukiman.
Padahal transportasi salah satu penyumbang terbesar dari gas rumah kaca yang
ada di atmosfir.
Dampak kerusakan
yang dihasilkan diperparah dengan menurunnya kepedulian terhadap lingkuangan di
sekitar kawasan permukiman. Ini menyebabkan gas rumah kaca yang dihasilkan
tidak bisa terimbangi untuk diserap kembali secara alamiah. Contohnya adalah
kurangnya kesadaran untuk menciptakan ruang terbuka hijau, atau menanam pohon
di sekitar kawasan permukiman.
Ringkasnya,
kawasan permukiman selain berstatus sebagai korban dari perubahan iklim, juga
berstatus sebagai salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim.
Instrumen Perencanaan Kawasan Permukiman yang Ada
Selain
sebagai korban dan penyebab terjadinya perubahan iklim. Kawasan permukiman juga
sebenarnya bisa berstatus sebagai problem solver. Sudah banyak
konsep-konsep terbaru tentang bagaimana sebenarnya kawasan permukiman harus
dibangun agar bisa mengurangi dampak dari perubahan iklim dan tidak ikut menyumbangkan
gas rumah kaca. Akan tetapi, kebanyakan konsep-konsep yang ada dinilai tidak bisa
diaplikasikan karena tidak terintegrasikan dengan instrumen perencanaan
pembangunan kawasan permukiman yang ada selama ini. Indonesia adalah negara
hukum. Artinya segala sesuatunya telah diatur oleh negara. Tidak bisa sebuah kawasan
permukiman dibangun tanpa mematuhi aturan dan instrumen yang ada. Konsep yang
bagus pada hakikatnya adalah konsep yang yang bisa dientegrasikan dengan
instrumen perencanaan pembangunan kawasan permukiman tersebut. Oleh karena itu,
sebelum menyarankan sebuah konsep sebaiknya dibahas terlebih dahulu mengenai
instrumen yang selama ini ada.
Dokumen rencana
utama yang menjadi acuan dalam pembangunan kawasan permukiman adalah Rencana
Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). RTBL ini merupakan hasil dari diferensiasi
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Propinsi, RTRW Kabupaten/Kota,
dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
Kabupaten/Kota. Di dalam RTBL ini diatur berbagai aturan teknis pembangunan di
kawasan perkotaan termasuk pembangunan di kawasan permukiman. Diantara yang
diatur di dalam RTBL adalah : Fungsi bangunan gedung, persyaratan bangunan
gedung, persyaratan sarana-prasarana, teknis pembangunan sarana-prasarana,
arsitektur bangunan, perizinan, dan aturan teknis lainnya.
Apakah Instrumen yang Ada Sudah Tanggap Perubahan Iklim?
Karena
perencanaan pembangunan kawasan permukiman pada hakikatnya merupakan turunan
dari kebijakan perencanaan nasional, maka jika ingin menciptakan sebuah
instrumen perencanaan yang berwawasan lingkungan dan tanggap akan isu perubahan
iklim haruslah dimulai dari level nasional, yaitu RTRWN. Jika dilihat dari
instrumen yang ada, memang sudah ada kesadaran dari pemerintah pusat mengenai
konsep penataan ruang dan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan tanggap
akan isu perubahan iklim. Ini terbukti dengan diterbitkannya berbagai kebijakan
nasional yang mengharuskan pembangunan yang berwawasan lingkungan seperti Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini
menetapkan kewajiban pemerintah untuk menerapkan sustainable development
sebagai solusi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan tanpa mengorbankan
kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Begitu juga dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN. Terlihat telah banyak
kebijakan-kebijakan penataan ruang nasional di dalam RTRWN yang berwawasan
lingkungan dan tanggap akan isu perubahan iklim.
Masalahnya,
berbagai kebijakan nasional yang sudah berwawasan lingkungan tersebut tidak
diturunkan secara konsisten oleh pemerintah daerah, baik itu pemerintah
provinsi atau pun kabupaten/kota. Sangat jarang ditemui RTRTW Propinsi atau pun
Kabupaten/Kota yang berwasasan lingkungan apalagi tanggap dengan isu perubahan
iklim. Sehingga tidak heran, jika selama ini RTBL yang sesungguhnya adalah
acuan utama dalam pembangunan kawasan permukiman tidak berwawasan lingkungan
dan tidak tanggap akan isu perubahan iklim.
Tidak
diturunkannya secara konsisten berbagai kebijakan nasional yang berwawasan
lingkungan oleh pemerintah daerah sangat dimungkinkan terjadi karena
berbagai alasan. Salah satu alasan yang sangat memunginkan adalah adanya
ketakutan bagi pemerintah daerah jika membuat sebuah kebijakan (seperti RTRW)
yang berwawasan lingkungan maka daerahnya tidak akan maju. Logika seperti ini
tercipta karena masih besarnya ketergantungan daerah-daerah di Indonesia dengan
hasil alam yang ada. Memang dengan adanya kebijakan yang berwawasan lingkungan
maka akan ada peluang terciptanya kawasan permukiman yang ramah lingkungan.
Akan tetapi di sisi lain, ‘tambang-tambang uang’ milik pemerintah daerah yang
pada hakikatnya adalah perusak lingkungan akan berkurang, sehingga pemasukan
daerah akan berkurang drastis.
Solusi dan Aplikasi
Jika
kebijakan penataan ruang dan pembangunan pada level propinsi dan kabupaten/kota
telah berwawasan lingkungan maka barulah konsep-konsep tentang kawasan
permukiman yang berwawasan lingkungan dan tanggap akan perubahan iklim bisa terintegrasi
sehingga akan ada penyesuaian oleh RDTR dan RTBL. Berikut beberapa contoh konsep
yang bisa diintegrasikan dengan RDTR dan RTBL :
1.
Memberi
batas pertumbuhan kawasan permukiman dan melakukan intensfikasi fungsi. Ini
bertujuan agar lahan kota yang termakan untuk kawasan permukiman tidak semakin
bertambah sehingga bisa digunakan sebagai open space yang bisa
mengimbangi emisi gas karbon yang dihasilkan dari berbagai aktifitas. Ini juga
bertujuan agar mobilitas intern kendaraan bermotor pada kawasan
permukiman bisa direduksi. Selama ini belum ada aturan tegas di dalam RTRW/RDTR
untuk membatasi pertumbuhan kawasan permukiman.
2. Meningkatkan
akses pelayanan transportasi umum bagi kawasan permukiman sehingga akses ke
kawasan lainnya lebih mudah. Hal ini dilakukan agar mobilitas ekstern kendaraan
bermotor pada kawasan permukiman berkurang.
3. Penggunaan
kembali prasarana dan lahan yang telah dibangun dan revitalisasi perumahan
lama, tujuannya agar lahan kota yang digunakan untuk permukiman tidak bertambah.
Selama ini belum ada upaya mewujudkan hal ini di dalam RDTR/RTBL.
4. Pembuatan
konsep Urban Design khusus sehingga panas matahari yang memasuki kawasan
permukiman tidak terperangkap dan tidak butuh pencahayaan non-alami. Sehingga
kawasan permukiman tidak membuang energi untuk fungsi pendinginan dan
pencahayaan. Konsep Urban Design yang diadopsi oleh dokumen-dokumen RTBL
yang ada masih konsep lama yang masih mengutamakan unsur estetika.
5. Mengkonversi
konsep Garden City Ebenezer Howard ke dalam kawasan permukiman, yaitu
dengan : membangun permukiman kompak untuk efisiensi pemanfaatan lahan, menyediakan
ruang terbuka, memisahkan kawasan permukiman dari kawasan industri namun
menyatukannya dengan kawasan perdagangan, dll.
6. Karena
akan adanya kenaikan permukaan laut dan peningkatan intensitas hujan beriringan
dengan terjadinya perubahan iklim maka pertimbangan tapak kawasan permukiman
harus lebih selektif, terutama untuk kawasan pesisir. Kawasan yang dipilih
yaitu kawasan yang memiliki tapak dengan kontur yang tinggi dan miring sehigga
meskipun terjadi kenaikan permukaan laut dan peningkatan intensitas hujan
kawasan permukiman akan bebas genangan air. Upaya mitigasi ini bisa dituangkan
dalam RDTR yang selama ini belum ada.
7. Pemanafaatan
teknologi terbarukan seperti pengolahan limbah menjadi sumber energi non bahan
bakar fosil, yang mana sumber-sumber energi bagi kawasan perumahan selama ini
masih direncanakan bersumber dari pembangkit listrik yang kurang ramah
lingkungan.
8. Dan
konsep-konsep lain seperti mewujudkan keseimbangan tempat kerja-perumahan,
mereduksi pencemaran lingkungan, dan meminimalisir biaya fasilitas umum.
Penutup
Perlu
ada keseriusan dari semua level untuk menciptakan kawasan permukian berwawasan
lingkungan dan tanggap dengan isu perubahan iklim. Selama ini, keseriusan
tersebut baru ada di level pusat. Terbukti, isu ini sudah lama ada namun
konsep-konsep paradigma pembangunan berwawasan lingkungan masih tergodok rapi
di level pusat, belum diturunkan secara konsisten ke daerah. Terlebih, daerah
yang koceknya dipenuhi dari uang hasil eksploitasi SDA. Jika paradigma
pembangunan berwawasan lingkungan tidak juga diadopsi oleh pemerintah daerah,
maka tidak bisa diharapkan akan tercipta kawasan permukiman yang berawawasan
lingkungan dan tanggap isu perubahan iklim. Yang ada, pemerintah daerah akan
semakin banyak mengeluarkan kebijakan yang sangat eksploitatif serta berpotensi
merusak lingkungan. Suatu penelitian mengatakan, bahwa dari 287 peraturan
daerah di Jawa terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, ternyata 148
diantaranya justru eksploitatif dan merusak lingkungan hidup.
[1]
Disusun oleh Muhammad Rezki Hr dalam rangka mengikuti lomba esai memperingati
Hari Habitat Dunia 2011 dengan tema Perumahan dan Kawasan Permukiman Ramah
Linkungan.
COMMENTS