City Planning and Political Values [1]

Teori perencanaan kontemporer telah menerima argumen bahwa perencanaan sudah tak terhindarkan lagi dari politik. Nilai dan kepentingan dalam politik telah terserap dalam proses penetapan tujuan perencanaan dan langkah mencapai tujuan tersebut. Bahkan Fainstein & Fainstein mengungkapkan bahwa planning tidak hanya memiliki kesamaan dengan pemikiran politik (terpengaruh politik), tapi sudah menjadi bagian dari formulasi politik itu sendiri.

Dimana posisi politik dalam planning? Bagaimana menilainya?
Kita akan bisa melihat posisi politik dalam perencanaan jika kita mendefinisikan perencanaan sebagai : future-oriented, yang terkait dengan pengambilan keputusan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Yang namanya proses pengambilan keputusan publik tentu selalu terkait erat dengan sebuah proses pengaruh dalam pengambilan keputusan karena  seringkali kepentingan itu tidak satu, melainkan beragam dari berbagai kelompok. Ini menyebabkan perencanaan kota mau tidak mau memasuki ranah politik untuk mempengaruhi kepentingan-kepentingan lain yang ada. Proses mempengaruhi itulah dimensi dari politik dalam perencanaan. Sehingga, politik merupakan alat untuk memperoleh keputusan di antara kelompok pemangku kepentingan. Maka untuk melihat ‘siapa yang bermain politik’ dalam perencanaan, lihatlah siapa ‘pelaku yang memutuskan tujuan dan cara mencapai tujuan perencanaan’.

Melihat Nilai-nilai Politik di Dalam Perencanaan
Untuk melihat nilai politik dan kepentingan apa yang terkandung di dalam proses perencanaan kita perlu mengetahui pemikiran politik apa yang mendasari satu jenis perencanaan. Dan agar kita bisa melihat pemikiran politik apa yang mendasari satu jenis perencanaan maka kita perlu melihat jenis perencanaannya, siapakah pelaku yang menentukan tujuan perencanaan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut?

Planning Typology
Fainstein & Fainstein membagi 4 jenis perencanaan berdasarkan “pelaku” yang menentukan tujuan perencanaan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu:
  1. Traditional Planning
  2. Democratic Planning
  3. Equity Planning
  4. Incremental Planning

Types of Political Theory
Dari penjelasan Fainstein & Fainstein, masing-masing jenis perencanaan di atas ternyata dilandasi oleh pemikiran politik yang berbeda. Pemikiran politik tersebut adalah :
  1. Technocratic theory
  2. Democratic theory
  3. Socialist theory
  4. Liberal theory

Berikut sedikit penjelasan tentang hubungan antara empat jenis perencanaan di atas dengan pemikiran politik yang mendasarinya.

Traditional Planning;  Teori Politik yang Mendasari : Technocratic theory
Dalam traditional planning penetapan tujuan perencanaan dan cara pencapaian tujuan dilakukan oleh perencana. Perencanaan dianggap sebagai orang yang paling tahu tujuan dan cara yang benar karena telah pakar dan berpengalaman, sehingga dapat dipercaya. Perencanaan tradisional lebih menekankan pada aspek fisik pengembangan kota. Sehingga pengembangan kota dilakukan secara tertata (teratur) dan penerapan standar tertentu. Suatu rencana akan dinilai telah memenuhi standar apabila telah benar dan tepat “secara ilmiah”. Dengan kepakarannya, para perencana dianggap mampu bertindak obyektif, tidak memihak salah satu kelompok dalam menetapkan tujuan perencanaan dan cara mencapai tujuan tersebut. Hal-hal tersebut menyebabkan perencana tradisional merasa tidak perlu melakukan konsultasi ke masyarakat luas.

Jenis perencanaan tradisional ini adalah jenis perencanaan yang didasari oleh teori politik teknokratik. Teori teknokratik muncul dalam era industri, yang mana pada era tersebut kekuatan politik berada pada golongan atas yang menguasai teknologi. Mereka beranggapan bahwa dengan menerapkan pendekatan ilmiah lewat teknologi berbagai masalah perkotaan yang dihadapi akan dapat diatasi. Pengatasan teknokratik ini mengakibatkan adanya anggapan : tidak perlu minta pendapat masyarakat. Kekuasaan negara, melalui perencanaan yang rasional, akan digunakan untuk mengatur ekonomi dan untuk memajukan kelas bawah. Teori teknokratik inilah yang mendasari asumsi perencanaan tradisional bahwa perubahan sosial bagi kepentingan seluruh masyarakat harus dimulai kelas atas.

Democratic Planning; Teori Politik yang Mendasari : Democratic Theory
Democratic Planning mulai muncul pada tahun 1960-an. Aliran ini muncul sebagai Kritik terhadap perencanaan tradisional yang dirasa “memaksakan” rumusan tujuan perencanaannya kepada masyarakat, padahal masyarakat belum tentu menerimanya. Kritik ini memulai era bergesernya perencanaan “top-down” ke perencanaan partisipatori yang dianut oleh tipe perencanaan demokratis. Dalam perencanaan demokratis, yang berwenang menetapkan tujuan perencanaan dan cara mencapainya adalah masyarakat (publik). Dalam kondisi terdapat banyak kelompok dan banyak kepentingan yang bertentangan, maka perencanaan demokratis perlu mendapatkan legitimasi dari semua kelompok dan kepentingan—dalam arti didukung oleh mayoritas masyarakat.

Jelas, bahwa teori politik yang melandasi democratic planning adalah teori demokrasi. Teori ini  menganggap bahwa tiap orang adalah sama dan pendapat tiap orang adalah benar menurut orang itu sendiri. Maka pendapat dari mayoritas merupakan pendapat yang paling benar.  Sehingga dalam perencanaan demokratis, maka tujuan dan cara harus berdasarkan pada kepentingan atau pendapat mayoritas tersebut.

Equity Planning; Teori Politik yang Mendasari : Socialist Theory
Aliran ini muncul di dekade-dekade akhir Abad ke 20. Equity planning agak mirip dengan  perencanaan demokratis dan perencanaan advokasi. Jika perencanaan demokratik memfokuskan pada proses partisipasi, sedangkan perencanaan ekuiti menekankan pada program-program substantif. Artinya fokus bergeser dari “siapa yang berwenang (menetapkan tujuan dan cara)“ menjadi “siapa mendapat apa”. Dalam hal feminism misalnya. Jika democratic planning menekankan pada posisi wanita dalam pengambilan keputusan, equity planning menekankan pada bagaimana caranya agar keputusan yang diambil juga berpihak kepada wanita. Ekuiti tidak selalu demokratis. Equtiy planning tidak selalu mempunyai pendukung mayoritas dalam masyarakat, tapi mereka membela keadilan bagi kelompok masyarakat tertentu (tertinggal, minoritas, tertindas).

Perencanaan ekuiti maupun advokasi, keduanya, berlandaskan teori politik sosialis. Dari pandangan teori sosialis, kaum tersingkir atau tertindas perlu mendapat perimbangan kekuatan politik. Mereka perlu dibela dalam proses perencanaan yang biasanya tidak melibatkan kaum “pinggiran” tersebut.

Incremental Planning; Teori Politik yang Mendasari : Liberal Theory
Perencanaan inkrimental melakukan perencanaan dalam jangka pendek, sepotong demi sepotong, bersambung, bukan dipikirkan secara jangka panjang. Ungkapan yang pas untuk menggambarkan incremental planning adalah : kita hanya memikirkan dimana kita hidup dan kapan kita hidup. Pelaku perencanaan dalam incremental planning bukan hanya satu instansi atau lembaga tapi seluruh unsur atau kelompok-kelompok masyarakat. Kalau perencanaan ekuiti atau advokasi melihat antar kelompok atau antar kepentingan terdapat konflik, tapi perencanaan inkrimental melihatnya sebagai harmoni dari potongan-potongan perencanaan di masyarakat. Karena dilakukan sepotong demi sepotong, perencanaan tipe ini tidak mengenal tujuan perencanaan atau cara mencapainya. Oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa incremental planning itu bukan sepenuhnya planning, sebagaimana dikatakan Fainstein dan Fainstein :
“in terms in our definition of planning, incrementalism is not really planning at all. Policy outcomes are not arrived at through formal rationality and there is no specifying of end and means”

Potongan tindakan yang ditetapkan dalam perencanaan inkrimental didasarkan oleh kebutuhan masyarakat saat itu. Potongan perencanaan yang satu bersifat bebas, indipenden terhadap potongan yang lain, dan ini  dilakukan karena perencanaan inkrimental berlandaskan teori politik liberal.

Liberalisme mendorong penyebaran kekuasaan di antara kelompok-kelompok masyarakat, sehingga tiap kelompok masyarakat dapat melakukan  perencanaannya sendiri, yang sepotong-sepotong dan tidak terikat dengan pencapaian jangka panjang. Setiap orang akan ikut terlibat dan berpartisipasi dalam proses kebijakan apabila merasa terkait dengan satu isu dan ingin menyampaikan pendapatnya mengenai isu tersebut. Tradisi liberal sangat sarat akan nilai-nilai individualisme, menerima keunggulan dan kepentingan pribadi, dan lebih menyukai intervensi pemerintah yang minimal. Mereka membatasi peran pemerintah di “pasar politik”. Pemerintah dituntut untuk mengakkan “aturan prosedural”, tetapi tidak ikut menentukan hasil : kelompok mana yang menang dan yang kalah dalam proses politik.

Penutup
Menurut, Gede Budi Suprayoga setidaknya ada dua alasan kenapa perencanaan tidak bisa lepas dari politik:
1.    Perencanaan melibatkan banyak aktor yang memiliki kepentingan yang beragam. Sehingga, sebagaimana telah disinggung di atas, politik adalah alat yang pasti digunakan untuk mempengaruhi orang lain demi kepentingan pihak tertentu.
2.    Rencana memerlukan proses legislasi untuk mengesahkannya. Sementara itu, legislatif, di negara kita contohnya, terdiri dari wakil-wakil rakyat yang bertanggung jawab terhadap konstituennya. Mereka ini adalah “corong” bagi warga kota dari berbagai golongan yang nantinya menentukan alokasi anggaran bagi program-program di dalam rencana.


[1] Tulisan ini merupakan bahan presentasi saya di matakuliah Planning Theory Advance di Magister Perencanaan Kota dan Daerah, yang sebagian besarnya merupakan ringkasan dari artikel berjudul : City Planning and Political Values: An Updated View,  karya Susan S. Fainstein & Norman Fainstein.
Sebagian lagi saya kutipkan dari artikel berjudul : Keragaman Pilihan Corak Perencanaan (Planning Styles) untuk Mendukung Kebijakan Otonomi Daerah karya Prof. Achmad Djunaedi.