Tak cukup jari-jari saya untuk menghitung jumlah gedung yang baru dibangun dikota ini semenjak terakhir kali saya pulang (sekitar Februari 2010). Tak ingat saya berapa jumlah persil tanah yang tadinya kosong, kini telah berdiri bangunan megah di atasnya. Dan tak mampu pula saya mengira berapa kilo meter jalan yang sudah diperlebar. Jalan di dekat perumahan tempat saya tinggal saja misalnya. Cukup mengagetkan.Terahkhir saya pulang, jalan tersebut hanyalah jalan dengan dua jalur. Tapi, ketika saya pulang romadon ini, jalan tersebut telah menjadi empat jalur. Lengkap dengandevider dan tumbuhan penghijau di tengahnya.Begitu dinamisnya fisik kota ini hemat saya.
Memang benar, kota ini terus membenahi fisiknya. Dalam banyak rangka tentunya. Yang terdekat, dalam rangka menyambut even olahraga terakbar di level nasional, pekan olahraga nasional. Dua tahun lagi kira-kira. Tentunya kota ini ingin dirinya terlihat gagah ketika didatangi oleh para tamu dari berbabagi penjuru nusa. Dan terlihat gagah pula ketika ‘diudarakan’ oleh media.
Itu rangka yang terdekat. Yang agak jauh (kira-kira sepuluh tahun lagi), kota ini memiliki asa (a.k.a visi Riau 2020). Pada masanya di 2020, kota ini juga harus siap sebagai penopang asa tersebut. Bagaimana tidak? Notabene kota ini adalah kota paling maju di Propinsinya (tentunya tak lepas karena statusnya sebagai ibukota). Propinsi sudah bermain strategi bagaimana mewujudkan asa tersebut. Mengerahkkan segala potensi yang ada. Intinya, Propinsi ini ingin dirinya memanfaatkan posisinya yang strategis di ASEAN. Propinsi ini ingin dirinya diperhitungkan dalam kancah ASEAN dan dimunculkan dalam peta aktivitas ASEAN. Sebuah strategic planning yang sangat stategic menurut saya.
Maka kota ini bak seorang bawahan yang harus taat tehadap asa atasannya. Atasannya ingin membesarkan diri. Maka ia pun harus siap untuk membesarkan dirinya pula. Ia harus siap dengan beratnya yang akan bertambah. Itulah dia. Kota ini harus berbenah diri demi menyongsong tahun 2020 tersebut.
Dalam hal ini, saya termasuk orang yang sangat optimis. Saya sangat optimis kelak di 2020 Propinsi kita ini akan menjadi salah satu ‘pengikat’ yang diperhitungkan di ASEAN. Optimisme saya ini saya rasa beralasan karena melihat banyak hal (secara kasat mata). Jika melihat faktor intern, melihat strength dan weakness yang ada maka tentunya begitu sangat meyakinkan sebagai modal untuk tercapai hal tadi di tahun 2020. Apalagi jika melihat faktor ekstern, melihat oppurtunity dan threat, semakin meyakinkan kita. Bertetangga dengan pusat perdagangan ASEAN (ujarnya). Bersebelahan dengan selat malaka yang tak dipungkiri lagi begitu penting posisinya bagi ASEAN. Maka propinsi ini bak gerbang penyambutan para pengungjung dari kedua tempat tersebut.
Tak cukup disitu, optimisme saya berlanjut jika melihat kota ini. Ibukota propinsi yang sangat mendukung terwujudnya hal tersebut. Berbenah, berbenah, dan terus berbenah. Jalan-jalan dilebarkan. Bandara dibesarkan. Kantor-kantor ditinggikan. Pelayanan terus ditingkatkan. Semuanya semata demi turut mendukung asa di tahun 2020 itu.
Namun sebenarnya dibalik optimisme saya itu, terdapat kekhawatiran di diri saya. Ya. Kekhawatiran akan pembenahan dan pembangunan yang akan terus berlanjut ini. Tentunya, tidak semua pembangunan itu berhasil. Tidak semua pembangunan selalu berbau wangi. Saya kira, ada kalanya suatu pembangunan itu akan membelot tidak ke arah keberhasilan. Ada kalanya pembangunan itu mencapai titik baliknya, sehingga baunya tidak lagi wangi. Seperti yang kita ketahui dibanyak kota di Negeri ini, banyak yang terjangkit “grandious syndrome”. Apa-apa harus besar. Tanpa memikirkan nilai-nilai kerasionalan. Tentunya hal ini tidak benar. Sebagian kota juga terlalu apatis dalam pembangungan. Tak terlalu peduli dampak apa yang akan terjadi dengan pembangunannya itu. Apakah pembanguanannya itu sudah adil, atau belum? Apakah pembangunannya itu hanya menurunkan kualitas lingkungan sekitarnya? Apakah sudah berkelanjutan, atau belum? Ini banyak dilupakan oleh kota-kota yang ada. Padahal hemat saya ini sangat penting.
Maka, (intinya) dua hal inilah yang saya kawatirkan terjadi di kota sedang semangat membangun ini. Saya sebut dua hal itu sebagai sebagai ; Grandious syndrome dan keapatisan dalam pembangunan.
Solusinya? Mudah. Untuk Grandious Syndrome kini telah ditemukan vaksinnya, yaitu smart growth. Vaksin yang telah berkembang di Amerika. Untuk pembangunan apatis telah lama ditemukan solusinya, yaitu Equal Suistanable Development. Pembagunan yang adil dan berkelanjutan. Pembangunan tanpa adanya disparitas dan tujuan fragmatis.
Lalu kenapa saya masih khawatir jika ada solusinya?
Pertama, saya rasa, tidak semua para pelaku pembangunan sadar akan masalah ini (boro-boro nyari solusinya). Banyak para pelaku pembangunan yang cepat puas dengan hasil yang mereka buat, dengan menganggap tidak ada masalah apa-apa. Kedua, ada mereka yang sadar, tapi mereka tidak memiliki willingness to do dan abillity to do untuk memecahkan masalah-masalah tersebut.
Maka, tentunya kota ini menunggu para pelaku pembangunan yang mengerti akan masalah yang ada, memiliki solusinya, dan mau serta mampu menerapkan solusi tersebut. Siapa lagi kalau bukan kalian? Para perencana muda yang masih sarat akan idealisme. Para perencana muda yang sangat faham akan teori dan empirik. Para perencana muda yang sudah tau aturan main (proses) dalam dunia perencanaan. Para perencana muda yang bisa memutuskan tepat, cepat, dan partisipatif. Sumbangsih kalian ditunggu.
Maka, kota ini menunggu kalian, wahai Young Planner!
Kota ini, Kota bertuah, Kota Pekanbaru.
[Selasai saya tulis di kamar tercinta di Pekanbaru, pukul 01.02 malam]
dipublish di facebook pada 8 September 2010
COMMENTS