Urban Biodiversity dan Local Wisdom[1]

Di tulisan saya tentang “Green City dan Urban Biodiversity” saya sudah berpendapat sedikit tentang pentingnya pengelolaan Urban Biodiversity. Persepektif lain yang bisa digunakan sebagai justfikasi pentingnya pengelolaan Urban Biodiversity adalah persepektif budaya.

Kamis lalu (8 November 2012), dalam seminar peringatan Hari Tata Ruang 2012, ada hal yang sangat menarik yang disampaika oleh Ketua Dewan Pertimbangan Heritage Yogyakarta, Bapak Yuwono Sri Suwito. Dalam makalahnya yang berjudul “Kearifan Lokal dalam Penataan Ruang Kawasan Yogyakarta Berbasis Budaya”, Pak Yu mengelaborasi makna-makna simbolis dan filosofis dari berbagai pohon yang ditanam di berbagai kawasan di Jogja, terkhusu di sekitar Kraton. Dua diantaranya:

Pohon Sawo Kecik (Manilkara Kauki) banyak ditanam di halaman kedhaton atau rumah bangsawan. Pohon Sawo Kecik mengandung makna sarwa becik (serba baik);
Pohon Kepel Watu; makna kepel adalah genggaman tangan manusia yang mengandung makna semangat untuk bekerja. Watu dari kata waton yang berarti dasar. Pohon Kepel juga melambangkan bersatunya kemauan dan cita-cita.

Ada banyak lagi vegetasi-vegatasi yang beliau elaborasi makna-makna simbolis dan filosofinya.

Nah, yang menarik bagi saya, siapa sangka vegetasi-vegetasi yang sering diabaikan pun ternyata punya nilai budaya dan juga punya sejarah yang sangat bernilai.[2]

Lalu pertanyaannya, bagaimana kita ingin menjaga nilai-nilai budaya tersebut jika tidak memperhatikan urban biodiversity dalam membangun kota? Jika kita terus memarginalkan urban biodiversity dalam urban land development process bukan tidak mungkin vegetasi-vegetasi tersebut akan punah dari kota kita suatu saat. Jika demikian, maka kita juga telah menghapus sebagian budaya kita. Begitu kan?




[1] 11 November 2012, 10:09 WIB, Ahad di Kamar Tercinta.
[2] Memang sebagian budaya terkait vegetasi tersebut ada yang mengandung kesyirikan. Jika demikian tidak ada baiknya untuk dipertahankan. Tapi ada juga sebagian yang mubah.